Uncategorized

MSDM Yang Ramah Lingkungan: Perlu Keseimbangan..!!

Posted on September 27, 2012. Filed under: Uncategorized |

Disadari bahwa konsep perusahaan yang ramah lingkungan (green company) telah menjadi tuntutan bisnis di era globalisasi. Di mana pada jaman ini terjadi sebuah perubahan sosial berupa bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemen yang ada di dalamnya akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi dan komunikasi yang sangat pesat dalam pertukaran budaya dan ekonomi internasional. Dalam kondisi ini tidak tampak lagi adanya batas-batas yang mengikat kehidupan suatu bangsa dan negara secara nyata. Dalam hal ini terjadi tiga dimensi dari globalisasi itu sendiri yakni globalisasi ekonomi, globalisasi politik dan globalisasi budaya.

Di dalam globalisasi ekonomi, terbentuk suatu masyarakat global yang tidak lagi tergantung pada batas-batas wilayah. Terjadi suatu situasi perdagangan internasional berupa pasar bebas, terbentuknya kerjasama regional, bilateral dan multilateral serta hadirnya lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, World Trade Organization (WTO), Asian Free Trade Area (AFTA) dan lain-lain.

Perusahaan yang ramah lingkungan adalah suatu konsep di mana pihak manajemen sebuah perusahaan secara sadar meletakkan pertimbangan akan perlindungan dan pengelolaan lingkungan, serta keselamatan dan kesehatan ‘stakeholders’ dalam setiap pengambilan keputusan bisnisnya. Hal ini merupakan wujud nyata tanggung jawab dan upaya memberikan kontribusi positif kepada perusahaan dan karyawan pada khususnya dan masyarakat serta pembangunan yang berkelanjutan pada umumnya.

Konsep perusahaan yang ramah lingkungan ini perlu dijabarkan lebih jelas dalam setiap kegiatan operasional perusahaan agar tidak menggantung di awang-awang. Konsep perusahaan yang ramah lingkungan ini harus menjadi sebuah konsep yang membumi dan memiliki akar yang kuat. Oleh karena itu, dalam implementasi dan aktualisasinya konsep ini memiliki empat komponen utama yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain yaitu:

a. Strategi bisnis perusahaan (green strategy)
b. Proses bisnis yang aman, nyaman dan bersih (green process)
c. Pengembangan produk yang ramah lingkungan (green product)
d. Pengembangan kompetensi dan perlindungan kepada sumber daya manusia (green employee).

Dengan cara dan pendekatan sedemikian, maka perusahaan tersebut telah menjalankan sebuah sistem manajemen yang memiliki cakupan yang luas (multiple management system) yang merupakan perpaduan target dan sasaran yang ingin dicapai yakni:

a. Perlindungan dan pembangunan lingkungan;
b. Keselamatan dan kesehatan ‘stakeholders’ dalam setiap pengambilan keputusan bisnis sebagai wujud
nyata tanggung jawabnya memberikan kontribusi positif kepada masyarakat;
c. Pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini dilakukan berdasarkan komitmen yang kuat dari setiap perusahaan yang ramah lingkungan dengan memiliki visi dan misi yang jelas bahwa “good safety is good business”.

Lingkungan Kerja

Partisipasi karyawan dalam mewujudkan suatu manajemen sumber daya manusia (MSDM) yang ramah lingkungan (green human resources management – Green HRM) sudah lama dikumandangkan oleh para ahli. Hal ini juga sudah dirasakan sangat perlu oleh perusahaan-perusahaan besar dalam rangka mewujudkan perusahaan yang ramah lingkungan. Namun, selama ini perusahaan lebih mengedepankan upaya ini kepada para karyawannya sebatas di lingkungan kerja (working environment) semata.

Para karyawan hendaknya dilihat dari dua sisi yang dimilikinya. Para karyawan di satu pihak merupakan produsen yang berhubungan erat dengan kegiatan-kegiatan di lingkungan kerjanya yang berkaitan dengan proses produksi. Di pihak lain, para karyawan juga menjadi konsumen terhadap produk-produk yang dihasilkan sebagai pribadi yang memiliki kehendak dan kemauan sendiri.

Kedua sisi perilaku karyawan yang berbeda ini telah menjadi perhatian serius dari Viola Muster dan Ulf Schrader (2011). Dalam jurnalnya yang berjudul “Green Work-Life Balance: A New Perspective for Green HRM”, mereka mendorong pihak perusahaan untuk lebih memberikan perhatian yang lebih besar kepada para karyawan untuk mewujudkan perilaku yang ramah lingkungan, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan kehidupan sehari-hari. Suatu hal yang menjadi tantangan tersediri bagi pihak perusahaan karena dianggap mencampuri urusan pribadi para karyawan.

Sejauh ini banyak perusahaan telah menjalankan berbagai aktivitas dalam rangka memberikan motivasi kepada para karyawan untuk mewujudkan perilaku yang ramah lingkungan di lingkungan kerja. Program-program tersebut antara lain rekrutmen, manajemen kinerja dan penilaian, pelatihan dan pengembangan, hubungan ketenagakerjaan dan sistem imbalan. Semua program ini merupakan upaya maksimal yang telah dilakukan oleh banyak perusahaan.

Pengaruh antara perilaku karyawan di lingkungan kerja (working environment) dan di lingkungan kehidupan sehari-harinya (life environment) telah dilakukan dalam berbagai riset. Faktor kehidupan sehari karyawan dijadikan sebagai variabel bebas (independent variable), di mana diasumsikan bahwa pengalaman dan perilaku karyawan dalam lingkungan kehidupan sehari-hari akan memberikan pengaruh terhadap perilakunya selama bekerja. Elloy & Smith (2003) menggambarkan hal ini sebagai suatu pendekatan holistik dalam bidang MSDM. Keduanya berpandangan bahwa karyawan adalah manusia (employee as human being) yang memiliki berbagai peran dalam lingkungan kehidupan yang berbeda-beda pula.

Perilaku yang ramah lingkungan dari para karyawan ini menuntut berbagai pendekatan yang kompleks yang harus dijalankan oleh pihak perusahaan. Berbagai pendekatan tersebut antara lain pendekatan individual, interaksional, siatuasional, kultural dan struktural. Hal ini telah direkomendasikan sebagai bentuk pendekatan holistik yang dilakukan berdasarkan ISO 14001 dan EMAS (environmental management systems). Standar yang digunakan ini akan membantu pihak perusahaan dalam melakukan implementasi, pengawasan dan perbaikan aktivitas-akivitas yang ramah lingkungan secara sistematis. Pandangan ini telah lama dikumandangkan oleh Wehrmeyer (1996) bahwa “If a company is to adopt an environmentally-aware approach to its activities, the employees are the key to its success or failure”.

Semua pendekatan yang telah disebutkan di atas harus memberikan fokus kepada kegiatan karyawan baik secara individual maupun secara kolektif. Upaya kolektif ini tentu saja bermula dari berbagai karakteristik budaya yang telah ada dalam perusahaan. Karakteristik budaya tersebut mungkin saja mendorong tumbuh-kembangnya perilaku yang ramah lingkungan bahkan sebaliknya yakni menjadi penghalang.
Perilaku ramah lingkungan ini harus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah budaya perusahaan (corporate culture). Hal ini sejalan dengan pendapat Schein (2004) bahwa budaya perusahaan adalah suatu pola asumsi dasar yang diyakini bersama (a pattern of shared basic assumptions). Manakala budaya perusahaan yang ramah lingkungan ini sudah terbentuk, maka perilaku dari para karyawan secara individual dapat diwujudkan dengan baik.

Dengan demikian, perusahaan-perusahaan yang menyadari pentingnya pendekatan yang ramah lingkungan akan terus meningkatkan budaya keselamatan kerja (safety culture). Istilah ‘safety culture’ pertama kali diperkenalkan oleh International Nuclear Safety Advisory Group (INSAG) sesudah terjadinya tragedi Chernobyl, di mana dinyatakan bahwa:

“The safety culture of an organization is the product of the individual and group values, attitudes, competencies and pattern of behavior that determine the commitment to, and the style and proficiency of an organization’s health and safety programmes. Organization with a positive safety culture are characterized by communications founded on mutual trust, by shared perceptions of the importance of safety, and by confidence in the efficacy of preventive measures”.

(Budaya keselamatan suatu organisasi merupakan produk dari nilai-nilai, perilaku, kompetensi dan pola perilaku yang dimiliki oleh individu dan kelompok yang menjadi acuan komitmen dan pola penerapan program kesehatan dan keselamatan di dalam organisasi tersebut. Organisasi yang memiliki tingkat budaya keselamatan yang positif ditandai dengan adanya komunikasi yang didasarkan pada saling percaya, persepsi yang diyakini bersama tentang pentingnya keselamatan dalam bekerja dan keyakinan untuk melakukan pencegahan).

Dalam hal ini disadari bahwa keberasilan pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan OSHAS 18001 akan berhasil bila kegiatan ini memiliki landasan yang kuat yakni:

a. Budaya perusahaan (corporate culture) yang telah dituangkan di dalam visi dan misi
perusahaan;
b. Program yang sistematis dan terstruktur, di mana bisa diketahui dampak sosial dan bisnis,
harapan dari para stakeholders, indikator keberhasilan dan terakhir dilakukan tinjau-ulang
secara berkelanjutan sebagai hasil monitoring.
c. Perilaku (behavior) dari para stakeholder yang memberikan dukungan dan partisipasi demi
keberhasilan program yang telah direncanakan.

Dengan demikian, perusahaan-perusahaan yang menyadari pentingnya pendekatan budaya keselamatan ini menggunakan berbagai pendekatan yakni pendekatan rekayasa (engineering approach), pendekatan sistem manajemen keselamatan kerja yang terpadu (integrated safety management system approach), dan kemudian dikembangkan menjadi pendekatan perilaku (behavior based system approach). Hal ini bertujuan agar setiap karyawan dapat selamat dan menampilkan perilaku aman yang akan menjadi suatu budaya perusahaan.

Di lain pihak, Sharon Clarke (1999) dalam jurnalnya yang berjudul “Perception of Organizatinal Safety: Implication for the Development of Safety Culture” mengemukakan bahwa terdapat dua dimensi dalam budaya organisasi yakni:

a. Pengaruh keselamatan dalam perilaku dalam bekerja (perceived relevance of safety to job
behavior)
; dan
b. Pengaruh sikap managemen terhadap keselamatan (perceived management attitude toward safety).

Sikap budaya keselamatan yang positif dari pihak manajemen dan karyawan akan memiliki ciri-ciri yang terlihat jelas dan transparan yakni komunikasi yang berdasarkan pada rasa saling percaya, persepsi yang sama tentang pentingnya masalah keselamatan, dan kesungguhan dalam penerapan tindakan-tindakan pencegahan. Keberhasilan semua program ini sangat tergantung pada kualitas komunikasi antara pihak manajemen dan karyawan, persetujuan dan komitmen dari semua tingkatan dalam organisasi bahwa keselamatan adalah faktor yang sangat penting, dan keyakinan segenap karyawan bahwa faktor keselamatan harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Kenyataan ini menimbulkan efek positif di mata para karyawan bahwa melakukan perilaku aman akan mendapat imbalan (reward) dan mengabaikan perilaku aman dalam bekerja akan mendapatkan hukuman (punishment). Hal ini merupakan suatu faktor pemicu (reinforcement factor) untuk menekan perilaku tidak aman.

Perilaku tidak aman dalam bekerja ini dapat dikurangi dengan melakukan beberapa cara yakni:

a. Menghilangkan bahaya di tempat kerja dengan merekayasa faktor bahaya atau mengidentifikasi
bahaya secara fisik. Cara ni dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya perilaku tidak aman.
b. Mengubah sikap pekerja agar lebih peduli dengan keselamatan dirinya. Cara ini dilakukan engan
asumsi bahwa perubahan sikap akan mengubah perilaku. Berbagai cara dapat dilakukan dengan
kampanye dan pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (safety training).
c. Memberikan hukuman (punishment) terhadap perilaku tidak aman. Cara ini harus dilakukan secara
konsisten dan segera setelah terjadinya.

Kehidupan Pribadi

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa globalisasi memberikan pengaruh yang besar kepada perusahaan dalam menyusun kebijakan-kebijakannya yang ramah lingkungan. Dampak tersebut ditidak saja dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga kepada para karyawan sebagai konsumen dalam lingkungan kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan dampak dari globalisasi bisa meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

a. Pengambil kebijakan di tingkat nasional, di mana perubahan yang cepat dan cenderung tidak
menentu, persaingan yang semakin ketat dan adanya kompetisi di berbagai bidang kehidupan,
menuntut kalangan ini untuk meningkatkan strategi dan langkah-langkah operasional yang ramah
lingkungan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, aparat birokrasi dan hukum yang handal,
perangkat hukum yang memadai agar bisa tercapai suatu efisiensi dan daya saing yang diinginkan.
b. Pelaku ekonomi, di mana daya saing ekonomi yang meningkat, kemampuan produksi dan ekspor yang
membesar membutuhkan suatu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan pasar bagi hasil produksi
nasional yang ramah lingkungan, juga pasar internasional dalam kerangka kerjasama multilateral,
regional dan bilateral;
c. Pemerintah, di mana pemerintah pusat dan daerah diharapkan semakin memainkan peran sebagai
fasilitator dalam menerapkan konsep persahaan yang ramah lingkungan, pemberi dorongan dan
bimbingan kepada para pelaku bisnis untuk meningkatkan daya saing dalam skala nasional dan
global. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi diteruskan tanpa menghilangkan campur-tangan
yang diperlukan, sambil memberikan arah kepada prakarsa dan partisipasi masyarakat;
d. Dunia usaha, di mana kalangan pengusaha diharapkan untuk lebih luwes dan sensitif dalam
menghadapi tuntutan pasar yang semakin paham akan konsep perusahaan yang ramah lingkungan.
Mereka juga hendaknya lebih jeli mempelajari peluang-peluang pasar dan meningkatkan efisiensi
serta daya-saingnya. Justru dalam situasi persaingan di era globalisasi ini dituntut adanya
kerjasama yang erat antara para pelaku bisnis dan pemerintah dalam memperjuangkan kepentingan
nasional di tingkat pasar dunia.

Dampak lainnya dari globalisasi ekonomi yang semakin menuntut adanya perusahaan yang ramah lingkungan ini adalah sebuah perusahaan tidak seharusnya berorientasi pada laba (profit) semata-mata, tetapi juga harus memberikan perhatian yang besar juga pada kesejahteraan masyarakat dan karyawan (people) dan lingkungan (planet). Perusahaan diharapkan tidak melakukan perusakan lingkungan, tetapi perusahaan dituntut untuk memberikan efek yang positif pada lingkungannya. Implementasinya bisa dalam bentuk produk yang ramah lingkungan (green product), penggunaan teknologi yang ramah lingkungan (green technology) dan proses produksi yang ramah lingkungan (green process).

Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan label pada produk yang dihasilkan (ecolabelling) oleh suatu perusahaan. Tujuan dan manfaat dari pemasangan label pada suatu produk adalah:

a. Mendorong konsumen agar memilih produk-produk yang memberikan dampak lingkungan yang lebih kecil
dibandingkan dengan produk lain yang sejenis.
b. Memberikan informasi kepada konsumen tentang suatu produk, apakah produk tersebut aman untuk
dikonsumsi atau memberikan dampak negatif pada lingkungannya.
c. Memberikan kesempatan pada konsumen untuk berpartisipasi dalam memelihara lingkungannya
d. Meningkatkan kepedulian konsumen dalam mengambil keputusan ketika membeli suatu produk, di mana
mereka tidak hanya memperhatikan faktor harga dan mutu suatu produk, tetapi faktor lingkungan.
e. Mendorong inovasi bagi kalangan dunia industri untuk tetap memperhatikan kondisi lingkungan
sekitarnya.
f. Memberikan citra positif bagi produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan sehingga menjadi
suatu investasi jangka panjang sekaligus meningkatkan daya saingnya di pasar.

Namun, sejalan dengan tanggung jawabnya maka perusahaan yang ramah lingkungan juga memiliki dua dimensi tanggung jawab yakni tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility – CSR) dan tanggung jawab komersial perusahaan (corporate commercial responsibility – CCR).

Dengan demikian perusahaan-perusahaan yang menjalankan program CSR akan lebih diterima di masyarakat. Tetapi, manakala suatu saat perusahaan tersebut melakukan kegiatan yang tidak etis dengan mengabaikan CCR, maka dampak yang diterimanya akan lebih besar dibandingkan perusahan yang tidak menjalankan program CSR. Dalam hal ini peranan dari MSDM sangat menentukan untuk mengupayakan kombinasi antara perilaku dan pengalaman sehari-hari karyawan yang berkaitan dengan budaya ramah lingkungan sebagai konsumen dengan “kewajiban” mereka dalam lingkungan kerja sebagai bagian dari proses produksi.

Jakarta, 27 September 2012

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tidak Lelah Mencintaimu

Posted on Januari 19, 2012. Filed under: Uncategorized |

Hidup ini penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi terhadap diri kita secara tepat. Termasuk di dalamnya adalah soal jodoh. Kita tidak bisa meramal dengan siapa kita akan menikah. Walau sekarang ini banyak sekali tukang ramal. Apakah jodoh kita akan langgeng ? Apakah jodoh kita akan bertahan hingga kematian memisahkan pasangan yang satu dengan yang lainnya ? Atau jodoh kita hanya seumur jagung? Atau bahkan hanya semalam saja.

Semua itu akan menjadi tanda tanya yang sulit untuk diberikan jawabannya. Dengan demikian, tepat sekali kalau dikatakaan bahwa jodoh itu berada di tangan Tuhan.

Takdir ini dialami juga oleh seorang sahabat saya. Sebut saja namanya Dewi (nama samaran). Sudah sekitar 2 tahun kami bersahabat di Facebook.. Setiap hari kami bertegur sapa. Selama itu terlihat bahwa statusnya di FB selalu bernada ‘melow’. Terlihat kegelisahan yang mendalam di hatinya.

Hingga suatu hari Dewi bersedia menceriterakan masalah yang dihadapinya selama ini. Dia selalu mengingatkan bahwa semua yang diceritakan ini harus disimpan sebagai rahasia. Dia merasa bahwa saya adalah sahabat yang bisa dipercaya setelah saling mengenal cukup lama.

Sejak SMP

Sebenarnya Dewi menikahi seorang sahabatnya juga dari kota yang sama. Mereka telah berpacaran sejak dini yakni SMP. Dengan demikian, semua orang pasti berpikir bahwa pernikahan mereka akan awet dan tidak ada halangan apapun. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Ratna.

Namun, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Demikian juga dengan pernikahan Dewi ini. Badai yang menerjang keluarga ini sangat dasyat. Suami yang sangat dicintainya ternyata mengkianatinya dan memiliki seorang ‘wanita idaman lain’ (WIL).

Dewi tidak memiliki rasa curiga sama sekali terhadap suaminya yang sering kali pulang larut malam. Suaminya selalu memberi alasan bahwa dia harus menemui rekan bisnis di tempat yang ditentukan.

Terkadang mereka makan-makan di kafé. Lain kali mereka menghabiskan waktu bernyanyi-nyanyi di tempat karaoke. Tetapi, lebih banyak mereka meghabiskan waktu di ‘executive club’ yang lebih memberikan hiburan yang menarik karena banyak ‘wanita malam’ di sana.

Walau Dewi mengetahui bahwa tempat-tempat itu banyak godaan, tetapi dia tetap berdoa semoga suaminya tidak terjerumus ke dalam pelukan wanita lain. Tetapi, semua itu hanya harapan semu.

Sebagaimana hari-hari yang lain, setiap pagi Dewi harus ke kantor untuk menjalankan tugas rutinnya. Tetapi hari itu, dia berangkat ke kantor sendirian, karena suaminya tidak bisa menunggu. Suaminya memberi alasan bahwa dia harus menemui rekan bisnis pagi-pagi sekali. Dewi pun memakluminya.

Tetapi, siang itu Dewi harus kembali ke rumah karena ditelpon oleh pengasuh bayinya bahwa putrinya demam. Dewi terburu-buru kembali ke rumah tanpa memberi tahu suaminya. Dia kembali ke rumah menggunakan taksi.

Namun apa yang dilihatnya sungguh di luar dugaan sama sekali. Mobil suaminya terparkir rapi di depan pintu pagar rumah. Dewi merasa sangat aneh. Mengapa mobil suaminya tidak diparkir di dalam garasi saja ?

Rupanya suaminya sedang asyik bermesraan dengan seorang wanita di dalam mobil itu. Si wanita duduk di belakang kemudi. Sedangkan suaminya di sebelahnya. Kehadiran Dewi di samping mobil mereka sama sekali tidak diketahui. Akhirnya Dewi tidak bisa menahan diri lagi lebih lama. Dia mengetuk-ngetuk pintu mobil untuk menyadarkan mereka.

Betapa kagetnya mereka ketika mengetahui bahwa Dewi telah memperhatikan mereka sekian lama. Dewi tidak menunjukkan sikap marah. Dengan tenang dia melangkah masuk ke rumah. Suaminya mengejarnya untuk memberikan penjelasan. Dewi sama sekali tidak bergeming.

Suatu hal yang lebih menyakitkan Dewi bahwa mobil yang selama ini menjadi kebanggaannya ternyata digunakan oleh wanita itu. Walau pun suaminya menjelaskan bahwa mobil itu hanya dipinjamkan sementara untuk melayani rekan bisnisnya, tetapi naluri Dewi mengatakan bahwa suaminya telah berbohong.

Semuanya kemudian terbukti dengan sendirinya. Supir yang selama ini menjadi orang yang dipercaya keluarga itu membuka borok majikannya. Dia mengakui bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya juga.

Supir yang telah melayani Dewi semenjak masih kecil itu mengatakan bahwa dialah yang yang memperkenalkan wanita itu kepada suaminya. Dia diminta oleh majikannya untuk mencarikan seorang wanita untuk menemaninya ketika harus memberikan ‘entertainment’ kepada rekan-rekan bisnis.

Semua cerita supir ini diakui oleh suaminya. Hati Dewi sangat terpukul. Dewi yang selama ini sangat taat beribadah tidak bisa menerima kenyataan ini. Baginya kepentingan keluarga tidak bisa dinegosiasikan atau dikorban oleh kepentingan bisnis. Apalagi urusan itu harus melibatkan wanita lain di dalamnya.

Malam itu juga Dewi kembali ke rumah orang tuanya dengan membawa Ratna yang masih berusia 2 tahun. Dia merasa bahwa suaminya telah berkianat dan tidak bisa dimaafkan lagi.

Tiga Lelaki

Semenjak itu Dewi meninggalkan rumah dan tinggal bersama orang tuanya. Hari ini dicatatnya sebagai lembaran hitam yakni 1 Maret 2000. Ratna masih bersama ayahnya. Sekali-sekali Dewi datang untuk menemui putri tercintanya itu. Untuk menghilangkan sakit hatinya, Dewi ‘mengungsi’ ke Malang. Di sana dia menyibukkan diri dengan mengelola sebuah perusahaan milik keluarganya.

Hari-hari yang dilalui betul-betul menyiksa. Kesibukan rutin yang dijalani sama sekali tidak bisa menghilangkann rasa rindu terhadap putri tercintanya. Bila kerinduan itu telah memuncak, maka dia selalu menyempatkan diri untuk ke Jakarta menemui sang ‘buah hati’. Walau hanya sehari, tetapi itu sudah cukup mengobati.

Sejalan dengan usia Ratna yang semakin menginjak remaja, maka sang putri pun memiliki kerinduan yang sama untuk selalu dekat dengan sang ibu. Dia akan ‘memaksa’ ayahnya untuk menemaninya ke Malang. Tujuannya cuma satu yakni berada bersama ibunya walau hanya semalam. Tidak hanya itu. Ratna pun selalu memohon kepada kedua orang tuanya untuk ‘bersatu’ kembali.

Permintaan Ratna ini rasanya tidak bisa ditolak oleh Dewi. Setiap kali dia mengajukan permintaan ini, maka permintaan itu harus dituruti. Bila tidak dituruti maka Ratna akan jatuh sakit. Sudah beberapa kali Ratna harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang intensif.

Usia Ratna kita telah remaja. Dia tentu saja semakin merasakan kebutuhan akan seorang ibu. Kebutuhan akan sebuah keluarga yang utuh yang terdiri dari ayah, ibu dan dirinya sendiri. Walau dengan hati yang terpaksa karena hatinya yang masih sakit merasakan ‘pengkianatan’ suaminya, tetapi Dewi tetap berdoa tanpa lelah, semoga dia diberikan kekuatan oleh Tuhan agar mau berkorban demi Rartna.

Bila dilihat dari foto-foto yang ada di albumnya, maka setiap orang akan tahu bahwa Dewi itu orangnya manis dan cantik. Tentu saja sangat banyak pria yang selalu mencoba merebut hatinya. Semua ini terlihat nyata di statusnya yang setiap hari penuh dengan komentar-komentar kaum pria. Apa saja yang ditulis di sana, banyak sekali yang memberikan komentar, bahkan melancarkan rayuan-rayuan maut kepada Dewi.

Selama ‘menyendiri’ ini, Dewi masih bisa menahan diri. Cinta dan perhatiannya kepada Ratna sangat besar. Dari sekian ‘penggemar berat’ di FB, hanya ada seorang pria yang bisa memikat hatinya yakni ‘Yadi’ (nama samaran). Pertemanan mereka pun baru mulai pada 3 Nopember 2011 yang lalu. Jadi, lama sekali Dewi ini menyendiri.

Yadi ini termasuk pria yang nekad. Walau Dewi berulang kali mengatakan bahwa dia masih ingin sendiri, Yadi tetap saja berusaha merebut hatinya. Bahkan suatu waktu, Yadi menyampaikan bahwa dia dan keluarganya akan ke rumah Dewi untuk melamar. Tetapi Dewi selalu menolak secara halus dan sopan.

Seorang pria lagi yang mencoba merebut hati Dewi bernama Romeo (nama samaran). Dia adalah seorang pengusaha yang sukses dan juga seorang politikus. Romeo merupakan salah satu pimpinan partai besar di negeri ini. Dia malah telah nyaris merebut Dewi sepenuhnya. Keluarga Romeo telah melamar Dewi dan menentukan tanggal pernikahan mereka di tahun 2012 ini. Tetapi, sekali lagi jodoh tetap di tangan Tuhan. Romeo pun gagal.

Menentukan

Semua perubahan ini berawal dari kemauan yang kuat dari Ratna untuk mempersatukan ayah dan ibunya kembali. Pada bulan Desember 2011, ketika ujian sedang berlangsung di sekolahnya, tiba-tiba Ratna pingsan. Oleh pihak sekolah Ratna dibawa ke rumah sakit terdekat. Keadaannya sungguh memprihatinkan. Pihak sekolah segera menghubungi orang tuanya. Ayah Ratna yang ada di Jakarta yang lebih dahulu menemuinya. Dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, Ratna menanyakan: “Ayah.. Kok sendirian..?? Mana mama..??!!”

Baru pada malam harinya, Dewi tiba di Jakarta. Dia hanya meminta kepada kedua orang tuanya: “Papa dan mama harus bersama Ratna selalu..!!” Memang kondisi kesehatan Ratna sejak kecil agak rapuh. Gampang sakit. Mungkin selama ini Ratna membutuhkan ‘obat’ dari orang tuanya. Bukan dari dokter atau perawat.

Berdasarkan permintaan Ratna ini, maka hati Dewi dan suaminya akhirnya ‘luluh’ juga. Egoisme yang selama ini tertanam dalam hati mereka akhirnya mencair juga. Mereka sepakat untuk bersatu kembali. Semua doa Dewi selama ini terjawab sudah. Dia tidak lelah untuk meminta kepada Tuhan, semoga egoisme dalam hatinya bisa disingkirkan.

Kemarin Dewi menyampaikan bahwa tanggal 14 Pebruari 2012 ini akan ada ‘hajatan’ untuk mempersatukan mereka kembali. Dia memohon sekali agar saya hadir di kampung halamannya

Kenapa..? “Abang adalah satu-satunya sahabat di FB yang selalu memberikan kekuatan dan peneguhan agar saya bersatu kembali. Demi Ratna..!!”, katanya.

Jakarta, 19 Januari 2012

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tabungan Berhadiah

Posted on Januari 4, 2012. Filed under: Uncategorized |

Produk-produk perbankan mengalami perkembangan dalam jumlah yang besar dan jenis yang beraneka-ragam sejak dikeluarkannya Pakto 88. Salah satu di antaranya adalah ‘tabungan berhadiah’ yang berkembang sangat pesat.

Kemajuan ini disebabkan karena pihak bank dibebaskan untuk menentukan sendiri jenis dan nama tabungan yang diselenggarakan, termasuk tata cara pelayanan, sistem administrasi, setoran, frekuensi pengambilan, serta cara penghitungan dan besarnya suku bunga.

Posisi tabungan perbankan sampai akhir September 1991 mencapai jumlah sebesar Rp. 12.157 milyar atau naik sebesar Rp. 2.434,8 milyar (25 persen) dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai sebesar Rp. 9.722,2 milyar. Dana tabungan Rp. 12.157 milyar tersebut terdiri dari Tabanas/Taska sebesar Rp. 2.381,9 milyar (19,6 persen) dan jenis tabungan lainnya sebesar Rp. 9.775,1 milyar (80,4 persen) yang di dalamnya termasuk tabungan berhadiah.

Animo Berkurang

Eksistensi dan keberhasilan tabungan berhadiah sebagai produk yang diluncurkan ke pasar sangat bergantung pada banyak faktor, baik di luar perusahaan mau pun di dalam perusahaan. Pada awal pemunculannya tabungan berhadiah mendapat tanggapan yang sangat antusias dari masyarakat. Namun dewasa ini terlihat ahwa animo masyarakat cenderung berkurang.

Alasannya antara lain mekanisme pengundian hingga saat pengumuman pemenang yang tidak disenangi masyarakat, ‘cost of fund’ yang tinggi dan ditanggung oleh bank yang bersangkutan, urusan administratif dan koordinasi yang membutuhkan biaya yang tidak kecil. Apalagi kebanyakan penabung berasal dari golongan kecil sehingga tidak efisien bagi bank yang bersangkutan.

Dengan demikian, pelaksanaan tabungan berhadiah kurang efekif lagi. Suku bunga yang relatif tinggi dewasa ini menyebabkan masyarakat semakin sadar dan tertarik untuk menanam uangnya dalam bentuk lainnya, tanpa iming-iming hadiah tetapi memiliki kelebihan yang menarik. Masyarakat semakin sadar dari ilusi yang selama ini ditanamkan dan akan memilih suatu bank lebih atas dasar kepercayaan dibandingkan dengan besarnya hadiah yang dijanjikan.

Eksistensi dan kemamuan bertahan tabungan berhadiah dalam menembus pasar disebut ‘daur hidup produk’ (product life cycle). Pendekatan historis terhadap umur suatu produk telah lama digunakan untuk melihat perkembangannya sejak diperkenalkan hingga saatnya menghilang dari pasaran.

Ada sementara ahli membagi umur suatu produk dalam beberapa tahap yakni tahap perkenalan (introduction), pertumbuhan (growth), mapan (maturity) dan menghilang (decline). Tentu saja pentahapan ini dilakuan berdasarkan grafik hasil penjualan dalam kurun waktu tertentu.

Disadari bahwa pendekatan historis seringkali sangat statis dan kaku. Artinya, hanya menunggu bagaimana penilaian pasar terhadap produk yang ditawarkan. Hal ini akan berakibat bahwa pada suatu saat produk yang ditawarkan ke pasar tidak lagi diminati oleh konsumen.

Setiap tahapan sebenarnya menggambarkan tingkat laba yang diperoleh dan struktur kompetisi pasar yang dihadapi. Gambaran ini hendaknya harus memberikan suatu upaya untuk mengambil langkah penyusunan rencana pemasaran yang lebih memadai, seraya memperhatikan kebutuhan nasabah sebagai bagian dari peluang yang diraih.

Dependen

Dapat dikatakan, konsep daur hidup produk tabungan berhadiah sebenarnya bersifat dependen. Artinya, tahap yang dicapai pada kurun waktu tertentu sangat tergantung pada sejauh mana upaya kegiatan pemasaran untuk menunjang eksistensi dan keberhasilannya dengan memperhatikan faktor ekstern dan intern perusahaan.
Faktor-faktor ekstern antara lain munculnya berbagai bank yang baru dan beroperasi dengan mudah (free entry) sehingga pangsa pasar yang harus diperebutkan mengecil. Sejak dikeluarkannya Pakto 88 telah lahir sekitar 67 bank baru (Bisnis Indonesia, 28 Pebruari 1992).

Di satu pihak, perkembangan ini membawa dampak ada mengecilnya tingkat perolehan keuntungan (laba) sebagai faktor yang menentukan kelanjutan suatu produk. Sedangkan di lain pihak, keadaan ini menyebabkn kompetisi dalam menawarkan tabungan berhadiah dan berbagai produk yang dihasilkan semakin ketat.

Sebuah faktor lain yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan adalah perubahan kebutuhan dan gaya hidup dari masyarakat. Perubahan kebutuhan dan gaya hidup masyarakat ini sangat erat kaitannya juga dengan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Upaya yang diambil ini antara lain dengan menganalisis perubahan kebutuhan, keinginan dan gaya hidup nasabah, tingkat kepuasan dan bentuk inovasi yang diberikan oleh kompetitor dan strategi yang tepat dalam mengungguli kompetitor.

Faktor intern perusahaan juga perlu mendapat perhatian yang memadai. Antisipasi perusahaan dalam rangka mengembangkan segenap potensi intern yang dimilikinya selama ini dilakukan dalam bidang pemasaran yang dikenal dengan konsep ‘bauran pemasaran’ (marketing mix) yang menekankan aspek produk (product), harga (price), tempat (place) dan promosi (promotion).

Upaya ini hendaknya melibatkan seluruh jajaran di dalam perusahaan, baik unit pemasaran, produksi, maupun penelitian dan pengembangan (research & development). Hal ini telah berhasil dikembangkan di Jepang karena menjalankan filosofi yang dianut masyarakat pada umum. Perusahaan-perusahaan Jepang menerapkan filosofi ‘kaizen’ pada segenap unit yang ada. Filosofi ini menghendaki adanya sautu perubahan yang berkesinambungan (continuous improvement). Artinya, apapun yang dihasilkan dapat didisain, dikembangkan dan diproduksi lebih baik lagi, bahkan dengan harga yang lebih murah agar bisa kompetitif dengan memperhatian faktor-faktor bauran pemasaran yang disebutkan di atas.

Bagi mereka hasil terbaik yang diperoleh sekarang, masih memilki peluang untuk lebih ditingkatkan lagi. Upaya menerapkan filosofi ‘kaizen’ perlu mendapat dukungan dari analisis pasar yang dilakukan secara sistematis, mencakup kebutuhan dan keinginan konsumen, karakteristik produk yang dikaitkan dengn pemenuhan kebutuhan, struktur kompetisi di dalam pasar dan karakteristik nasabah itu sendiri.

Tujuan analisis pasar adalah mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen, meningkatkan kualitas produk yang ditawarkan, dan mengurangi tingkat kekeliruan dalam menetapkan strategi pemasaran. Kegiatan analisis pasar ini meliputi analisis peluang pasar, analisis segmentasi pasar dan analisis potensi pasar. Analisis peluang pasar lebih menitik-beratkan perhatian pada analisis kebutuhan. Informasi ini dapat diperoleh melalui umpan-balik dari tenaga penjualan, bagian riset, laporan dari bagian pengaduan dan pelayanan serta pendapat dari para pemerhati perbankan sendiri.

Hambatan Budaya

Kemampuan untuk melakukan pengembangan yang berkesinambungan tidak bisa dipisahkan dari budaya yang dianut serta kebijakan dari perusahaan yang bersangkutan. Masyarakat pada umumnya dan kalangan perbankan kita pada khususnya masih dipengaruhi oleh ‘budaya petani’ yang berkaitan dengan pola hidup yang subsisten. Di mana, pendapatan dan penghasilan yang diupayakan masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan secukupnya hari ini tanpa upaya lebih giat lagi untuk meningkatkan.

Peranan manajemen suatu bank juga cukup besar untuk melakukan pengembangan suatu produk, khususnya tabungan berhadiah. Penerapan pola insentif yang konsekuen masih belum dilakukan. Antara lain dengan memberikan apresiasi terhadap karyawan yang berhasil mengembangkan suatu ide ke arah inovasi atas suatu produk yang sedang dipasarkan.

Bila pola insentif ini tidak dilaksanakan dengan konsekuen, maka ide-ide ang inovatif akan menjadi ‘mandeg’. Hal ini perlu dituangkan dalam penyusunan perencanaan strategik (strategic planning) karena disadari bahwa daur hidup suatu produk cenderung semakin singkat. Keterlibatan pihak manajemen dibutuhkan karena budaya masyarakat kita, khususnya parar staf yang masih ‘menunggu’ alias mengharapkan ‘tuntunan dari atas’ (tuntas).

Di pihak, perubahan atas suatu hasil yang telah mapan dan berlangsung lama oleh orang-orang yang telah lama berkecimpung dalam suatu perusahaan masih dirasakan sulit karena sikap cepat berpuas diri. Untuk itu dibutuhkan ‘terobosan’ yang dilakukan oleh ‘orang baru’ yang mendapat dukungan dari pihak manajemen agar pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik.

Dukungan dari pihak manajemen ini biasanya berupa kebijakan dan misi (mission) yang telah digariskan dalam perencanaan strategik yang telah disusun. Penilaian terhadap layak-tidaknya suatu produk dilakukan dengan analisis yang memperhatikan berbagai perubahan yang mempengaruhi produk tertentu di masa mendatang.

Dengan demikian perencanan strategik merupakan pedoman yang menyangkut berbagai kebijakan yang harus diambil dalam kurun waktu tertentu (biasanya 5 tahun). Penyusunan ini dilakukan dengan memperhatikan keadaan pasar, kompetisi yang ada, dan lingkungan usaha di masa mendatang karena semua bank menjual produk yang sama yaitu ‘tabungan berhadiah’.

Yang membedakan adalah improvisasi sehingga kelihatan sebagai produk ‘baru’. Kemampuan untuk bertahan dari tabungan berhadiah dalam persaingan untuk meningkatkan pemupukan dana masyarakat sangat tergantung pada improviasasi yang dilakukan oleh suatu bank. Improvisasi ini membutuhkan perhatian yang lebih cermat atas siatuasi ekstern dan internan perusahaan untuk dilaksanakan secara berkesinambungan.

Hanya bank-bank yang jeli memperhatikan kebutuhan nyata dari masyarakat yang akan unggul dalam mempertahankan nasabahnya. Di sini filosofi ‘kaizen’ memiliki relevansi untuk diterapkan sebagai pandangan hidup dalam mengembangkan produk perbankan yang memadai, khususnya tabungan berhadiah.

Penerapan filosofi ‘kaizen’ ini tentu saja, sekali lagi tidak bisa dilepaskan dari problematika faktor budaya yang masih melekat dalam mentalitas suatu masyarakat kita pada umumnya, dan lebih khusus lagi adalah masyarakat perbankan.

Catatan:

+ Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum “Bisnis Indonesia” tanggal 10 Maret 1992

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

‘Impor’ Manajer Profesional

Posted on Januari 4, 2012. Filed under: Uncategorized |

Masalah pengembangan sumber daya manusia, khususnya keterbatasan tenaga profesional, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam beberapa waktu terakhir ini kembali mencuat ke permukaan dan cukup menarik perhatian. Kondisi ini sebenarnya telah berlangsung cukup lama dan menjadi topik pembahasan di berbagai forum dan media massa.

Harian ‘Asian Wallstreet Journal’ (AWSJ – 4 Maret 1992) menurunkan suatu laporan mengenai anatomi masalah tenaga kerja di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Laporan ini dibuat berdsarkan studi yang dilakukan di negara-negara ‘Macan Asia’ (New Industrialist Countries – NIC’s) yakni Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Singapura serta negara-negara di Asia Tenggara lainnya seperti Muang Thai, Flipina, Malaysia dan Indonesia.

Suatu hal yang menarik perhatian dari laporan itu bahwa Indonesia telah ‘mengimpor’ sekitar 600 – 800 tenaga profesional, baik tenaga akuntan dan perbankan, maupun manajer-manajer dari Filipina untuk mengisi kebutuhan yang terus meningkat. Upaya ‘mengimpor’ tenaga profesional dari luar negeri ini hanya merupakan salah satu jalan pintas yang dilakukan di samping praktek ‘bajak-membajak’ antara sesama perusahaan di dalam negeri. Walaupun praktek bajak-membajak tenaga profesional oleh sementara kalangan dinilai tidak etis karena akan merugikan pihak perusahaan yang dibajak.

Di samping mengalami keterbatasan tenaga profesional secara kuantitatif, muncul juga pendapat bahwa manajer tingkat madya pada kebanyakan perusahaan nasional besar di Indonesia masih sangat lemah, baik kepribadian maupun pengetahuan yang dimilikinya. Para pengamat mengatakan bahwa suatu kebijakan di tingkat manajemen puncak seringkali menjadi ‘salah arah’ dalam implementasinya karena faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian manajemen puncak terpaksa harus melaksanakan sendiri tugas-tugas yang strategis sifatnya, misalnya melakukan pengembangan manajemen tingkat madya juga.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan tenaga pr0fesional ini seringkali terjadi proses ‘pengkarbitan’ manajer sehingga hasil yang diperoleh jauh dari yang diharapkan dan sangat tidak efisien. Hal ini merupakan suatu akibat berantai dari perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan hanya untuk mengatasi ‘rasa tidak aman’ (insecure feelings). Kondisi ini telah dialami oleh masyarakat industri dan bisnis sejak tahun 1970-an. Hal ini juga dirasakan oleh para investor, baik oleh investor lokal maupun investor asing.

Usia Senja

Selain upaya ‘mengimpor’ tenaga profesional dari luar negeri, upaya bajak-membajak di antara sesama perusahaan, dan pengkarbitan tenaga manajer untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga profesional yang bersifat jangka pendek, maka dilakukan pula upaya-upaya lainnya yaitu merekrut kembali tenaga-tenaga profesional ‘usia senja’ (graying work force) yang dinilai masih memiliki kemampuan yang diandalkan. Memang terdapat berbagai pandangan yang pro dan kontra yang dikaitkan dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh kelompok profesional ‘usia senja’ ini.

Dapat dikemukakan adanya beberapa segi positif dari kalangan profesional usia senja yang direkrut kembali ini. Salah satu faktor yang dapat dipertimbangkan adalah kemampuan kalangan ini dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai yang sedang berkembang sehingga mengurangi tingkat risiko. Apalagi kalangan ini memiliki kemampuan dan daya tahan serta pengetahuan dalam melakukan negosiasi sebagai faktor yang perlu diperhitungkan dalam melakasanakan tugas.

Selama ini kalangan profesional usia senja ini berasal dari lingkungan BUMN. Terdapat kecenderungan di kalangan ini untuk memperoleh pensiun lebih awal dari masanya selagi masih kuat dan sehat, agar dapat mengaktualisasikan dirinya di luar jalur birokrasi. Tentu saja kalangan ini membutuhkan penyesuaian orientasi dari birokrasi ke bisnis serta gaya kepmipinan yang sepadan.

Komitmen

Selain usaha jangka pendek yang dikemukakan di atas yang bersifat ‘tambal-sulam’, maka perlu dipikirkan beberapa langkah yang bersifat jangka panjang dan strategis untuk diterapkan. Langkah-langkah tersebut antara lain meningkatkan sistem pendidikan, baik formal maupun non-formal, memberikan beasiswa bagi yang berprestasi untuk belajar ke luar negeri, dan menyediakan dana yang cukup besar untuk meningkatkan pendidikan dalam ranka investasi sumber daya manusia (human investment).

Memang selama ini upaya memberikan beasiswa untuk belajar ke luar negeri telah dilakukan oleh beberapa instansi, baik atas kerja sama dengan perusahaan swasta maupun lembaga internasional. Di samping itu, animo masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri secara ‘swa-dana’ memang relatif cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari gencarnya berbagai iklan di media massa dan ceramah-ceramah di hotel-hotel berbintang yang menawarkan jasa untuk mengurus mereka yang ingin belajar ke luar negeri.

Namun, perlu juga dipikirkan upaya untuk memperbaiki iklim usaha dalam negeri agar mereka yang telah dikirim ke luar negeri untuk belajar bisa kembali lagi sebagai ‘komitmen’ membangun bangsa dan negaranya. Karena tidak jarang mereka yang telah berhasil belajar di luar negeri ketika kembali ditempatkan pada bidang yang tidak sesuai dengan keahlian yang telah diperdalam selama di luar negeri.

Hal ini perlu dikembangkan dan direncanakan sejak dini dalam rangka memberikan motivasi mereka untuk ‘pulang kampung’. Walaupun rasanya agak sulit juga untuk melakukan perubahan dalam tata nilai (values) dan gaya hidup (life-style) yang sudah melekat selama belajar di luar negeri dengan kondisi yang ada di negeri ini.

Di lain pihak, iklim di dalam perusahaan-perusahaan nasional yang ada sekarang perlu mengalami perubahan dalam perencanaan strategik, khususnya pengembangan sumber daya manusia. Hal ini menjadi tantangan bagi kalangan eksekutif kita untuk mengkaitkan balas-jasa atau kompensasi atas prestasi profesional individual secara sistematik dan terbuka. Juga menggalakkan pelatihan dan pengembangan manajemen dengan cara sadar melakukan investasi dalam sumber daya manusia yang kontinyu. Selain itu, juga dilakukan perencanaan suksesi manajemen tingkat menengah dan puncak secara terbuka dengan wawasan ke depan yang lebih jelas untuk menghindari ‘sistem nepotisme’ yang lebih memperhatikan lingkungan keluarga (inner circle) dan menomor-duakan kalangan profesional.

Walaupun demikian, upaya melakukan investasi dalam bidang sumber daya manusia ini masih dihadapi dengan berbagai kendala yang cukup rumit. Pihak perusahaan yang memiliki orientasi ke depan masih saja dibayangi oleh kasus-kasus pembajakan karena selama ini belum ada suatu ‘aturan main’ yang jelas dan mengikat. Di lain pihak, pengembangan sumber daya manusia membutuhkan biaya yang besar. Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa lebih efisien mencari tenaga-tenaga yang ‘siap pakai’ untuk mengisi kekosongan yang ada.

Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat masih banyak perusahaan nasional ang kelihatannya besar tetapi pola kerjanya masih bersifat ‘hit and run’. Perusahaan-perusahaan seperti ini tumbuh dan menjadi besar secara semu tanpa perencanaan yang jelas dan terarah. Bagi perusahaan-perusahaan ini, pengembangan sumber daya manusia mendapat porsi yang sangat kecil dibandingkan laba yang diraih. Tenaga profesional yang dibutuhnya selalu dipenuhi dengan cara ‘membajak’ saja.

Sumber daya manusia masih dipandang sebagai suatu ‘komoditas’ semata dan bukan sebagai asset yang perlu ditumbuh-kembangkan. Dengan demikian kondisi ini menjadi ancaman bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki misi yang jelas dan bersifat jangka panjang.

Walaupun terdapat berbagai kendala seperti yang disebutkan di atas, perencanaan strategik dalam pengembangan sumber daya manusia perlu dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait, baik pemerintah maupun swasta agar di masa yang akan datang masalah keterbatasan tenaga profesial ini bisa dikurangi lagi. Dan kita tidak hanya mampu untuk menepuk dada seraya berkata: “mea culpa.., mea maxima culpa..!! (dosaku.. oh.. dosaku yang teramat besar..!!)

Catatan:

+ Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum “Bisnis Indonesia”, tanggal 23 Maret 1992.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Gaya Hidup dan Produk Bank

Posted on Januari 4, 2012. Filed under: Uncategorized |

Sejak keluarnya paket deregulasi di bidang perbankan yang dikenal dengn Pakto 88, maka perkembangaan dan pertumbuhan bank terasa sangat pesat. Sejalan dengan itu, bank-bank pun bersaing secara ketat dalam melakukan aktivitas untuk ‘mendekatkan diri’ dengan nasabah.

Dalam upaya merangkul nasabah ini (staying close to the customers), pihak bank berpacu untuk menciptakan strategi yang diharapkan dapat mengungguli para pesaingnya. Upaya untuk mendekatan diri dengn kehidupan nasabahnya, khususnya nasabah individual telah mengharuskan bank untuk lebih memperhatikan segala ‘trend’ yang berkembang di dalam masyarakat serta berbagai macam kebutuhan yang muncul.

Suatu hal yang menjadi pusat perhatian pihak bank adalah perkembangan gaya hidup (life style cycles) yang merupakan dampak dari meningkatnya pendapatan dan perkembangan teknologi dan informasi dalam era globalisasi yang pesat ini. Beragam produk disiapkan dan bisa saja sama dengan produk yang telah ditawarkan oleh bank-bank pesaingnya. Tetapi harus dimunculkan suatu produk yang ‘lain’ yang secara psikologis memiliki ‘nilai plus’ (product differentiation). Hal ini memungkinkan bank tersebut untuk merangkul lebih banyak nasabah dibandingkan dengan bank-bank pesaingnya.

Masyarakat di mata kalangan perbankan dibagi dalam 5 (lima) kelompok yaitu:

• remaja,
• pasangan yang baru menikah,
• keluarga dengan anak-anak yang dependen,
• keluarga dengan anak-anak yang independen, dan
• pasangan suami-isteri yang telah menyendiri.

Di antara kelima kelompok ini, kelihatan bahwa pengeluaran yang paling besar terdapat pada kelompok ketiga yang memiliki anak-anak yang masih dependen. Berbagai kebutuhan akan muncul pada kelompok ini, misalnya kebutuhan untuk pengadaan rumah, meubel, mobil, biaya sekolah, bepergian, berbelanja dan beberapa kebutuhan rutin lainnya. Dalam rangka mempermudah proses pemenuhan kebutuhan yang semakin beragam ini, maka peranan bank akan semakin terasa pentingnya.

Di sini bank-bank akan menyodorkan produk-produk baru yang telah disiapkan yang terkadang akan sangat merasuki kehidupan masaryakat yang menjadi sasarannya. Keadaan ini akan semakin gencar berkat penggunaaan teknologi dan informasi yang canggih yang mempermudah kegiatan bidang riset untuk merancang suatu poduk baru. Selain itu, informasi mengenai suatu produk baru akan dikemas dengan teliti dalam suatu paket promosi yang sangat mengena, walau membutuhkan biaya yang ‘aduhai’.

Sementara itu, di pihak lain kebutuhan yang dihadapi oleh masyrakat semakin beragam karena adanya perubahan nilai yang menonjolkan prestise seseorang karena melekat pada produk tertentu (conspicuous consumption). Masyarakat seakan-akan telah sepakat dalam menilai ‘arti’ suatu produk karena berkembangnya nilai-nilai sosial yang baru (new social values).

Hati-Hati

Namun, bagaimana pun juga berkembangnya nilai-nilai sosial dalam masyarakat ini dibarengi juga dengan semakin sadarnya masyarakat akan hak-haknya yang perlu diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tuntutan masyarakat, baik secara pribadi maupun melalui organisasi sosial yang dewasa ini berperan dalam membela kepentingan nasabah.

Keluhan ini dapat saja menyangkut kemasan suatu poduk, jaminan, pelayan dan berbagai keluhan lainnya yang menimbulkan ketidak-puasan masyakat karena merasa terkecoh dengan janji-janji yang telah dikemukakan sebelumnya. Dalam menghadapi berbagai kasus yang telah timbul dan usaha pencegahannya, maka diharapkan peranan dari pihak pemerintah untuk mengawasi kegiatan perbankan dan melindungi masyarakat sehingga tidak dirugikan.

Upaya pemerintah yang serius ini dapat dilibhat dari perbaikan atas Undang-Undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 yang dinilai tidak mampu lagi ntuk mengimbangi dinamika moneter yang sangat pesat dewasa ini.

Sementara itu, dewasa ini berbagai bank semakin sadar (self controlled) bahwa citranya harus tetap dijaga. Sekali saja masyarakat tidak mempercayai suatu bank, makan bank itu pun dianggap ‘sakit’. Munculnya bank yang ‘sakit’ ini lebih disebabkan antara lain karena bank tersebut tidak lagi memperhatikan kepercayaan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangn J.B. Sumarlin (Bisnis Indonesia, 10 Januari 1991).

Sekali lagi perlu dicamkan bahwa faktor kepercayaan terhadap suatu bank merupakan modal usaha yang utama. Pihak bank hendaknya tidak terlalu berorientasi kepada pasar dan mengejar keuntungan sebesar-besarnya (market centered), tetapi juga harus memperhatikan kepentingan, baik hak dari msayarakat pada umumnya, maupun hak dari nasabah pada khususnya (societal centered).

Catatan:

+ Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum “Bisnis Indonesia”, tanggal 2 Maret 1991.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

CEO dan Suksesi

Posted on Januari 4, 2012. Filed under: Uncategorized |

Dewasa ini semakin disadari oleh kalangan dunia usaha bahwa kelangsungan suatu unit bisnis tidak dapat berasa dan dikendalikan hanya dalam satu tangan saja. Suatu saat orang yang mendirikan dan membesarkan perusahaan tersebut harus mundur, karena meninggal dunia atau usia. Hal ini suatu proses alami, karena berlaku hampir setiap aspek kehidupan, tidak hanya dialami oleh dunia usaha.

Seorang CEO yang arif tentu ingin melihat bahwa setelah tiba saatnya untuk tidak berkuasa lagi, apa yang telah dibangunnya dengan susah-payah tetap dalam kondisi yang baik, kalau bisa lebih berkembang lagi. Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha, CEO (predecessor) secara sadar mempersiapkan calon penggantinya (succesor) sejak dini.

Kenyataannya, hal hal yang ideal ini agaknya, “gampang-gampang susah” (kata orang Betawi) untuk diterapkan. Kenyataan di sekitar kita membuktikan betapa masalah ini sering diabaikan. Kemunduran perusahaan tersebut terkadang lebih disebabkan ole faktor “siapa yang akan digantikan” yang masih kurang diperhatikan dalam manajemen perusahaan.

Dari luar atau dalam

Dalam manajemen sumber daya manusia yang baik, biasanya seorang CEO, eksekutif dan manajer harus memilih dan mempersiapkan penggantinya sendiri. Namun dalam beberapa hal, keinginan ini mengalami kendala dalam penerapannya bahkan mengalami kegagalan.
Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut antara lain perubahan kondisi lingkungan bisnis yang membutuhkan pola kepemimpinan, kualitas pengganti yang kurang diperhatikan, rasa percaya diri yang berlebihan dari CEO sehingga tidak mau berkonsultasi dengan orang lain, sehingga pilihan terhadap seseorang lebih didasarkan pada persepsi, pola tingkah laku (like and dislike) dan kerangka acuan yang digunakan yang subjektif.

Dengan demikian kurang diperhatikan berbagai perkembangan yang akan terjadi di masa mendatang, baik yang menyangkut bakat dan pandangan untuk mengantisipasi perkembangan dan masalah-masalah baru yang akan timbul berupa perkembangan sosial dan ekonomi. Keharusan untuk mempertahankan tradisi yang telah berlaku sehingga menutup kemungkinan dilakukannya perubahan oleh pengganti juga merupakan penyebab kegagalan.

Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor itu lebih disebabkan oleh keberhasilan dan kemulusan yang dialami oleh seorang CEO dalam mengelola dan mengendalikan perusahaannya di masa lalu. Karena menurut pengalaman dan keberhasilan yang dicapai selama menjalankan tugasnya seringkali seorang CEO beranggapan bahwa kelak di kemudian hari tidak akan muncul berbagai masalah yang rumit.

Di lain pihak penggantinya harus menghadapi berbagai perubahan dan tantangan ekonomi dan sosial. Misalnya seorang bankir yang berhasil membangun banknya menjadi yang disegani dan berpengaruh luas baik di kalangan bisnis dan politik, sementara banyak pihak yang datang meminta nasihat kepadanya.

Keadaan yang dialaminya diasumsikan akan tetap sama bagi penggantinya yang akan memainkan peranan integratif. Padahal kondisi ekonomi semakin bergolak, sehingga penggantinya harus memampukan diri dalam persaingan. Antara lain dengan membangun kantor-kantor cabang yang baru, memperluas volume dan jaringan kredt dan program pemasaran yang intensif.

Dalam situasi demikian peranan yang dimainkan oleh penggantinnya ini sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis. Seorang CEO yang telah berkuasa lebih dari sepuluh tahun harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Di sini terjadi kecenderungan kumulatif di mana CEO mengindentifikasikan diri dengan perusahaan, atau terjadi “perkawinan” antara CEO dan organisasi perusahaannya. Pengambilan keputusan bisanya memiliki pola yang baku dan kurang memperhatikan perubahan lingkungan internal dan eksternal, bahkan mengesampingkan peranan pihak lain dalam perusahaan.
Disamping itu tidak dapat memberikan toleransi terhadap kegagalan yang dihadapi orang lain karena pengaruh citra diri (self image atau ego ideals) yang sangat besar.

Semakin dominan seorang CEO, maka kekuasaannya semakin sulit dibatasi. Proses pemilihan seorang pengganti akan semakin ruwet karena faktor pribadi yang sangat menonjol ini. Di satu pihak, CEO yang bersangkutan sangat sensitif terhadap persaingan dan tidak dapat mentolerir bila ada seseorang yang dapat melakukan sesuatu lebih baik.

Di pihak lain, CEO tersebut tidak mau mengakui keunggulan orang lain. Hal ini mengakibatkan bahwa bawahannya yang tidak diperhitungkan akan meninggalkan perusahaan, sementara yang lain akan bersikap pasif dan kehilangan motivasi. Dalam waktu yang singkat perusahaan tersebut akan kekurangan tenaga-tenaga profesional untuk menempati posisi yang lebih tinggi.

Seseorang yang mengalami promosi dari dalam (promotion from within) diharuskan untuk mempertahankan kewajiban moral kepada anggota perusahaan dan berbagai mekanisme yang telah mentradisi. Peraturan dan tata kerja yang ada merupakan pengejawatahan pribadi CEO itu sendiri.

Kewajiban ini kan lebih jelas kelihatan dalam perusahaan-perusahaan milik keluarga, di mana kepentingan dan tuntutan dari anggota keluarga sangat mempengaruhi jalannya roda perusahaan. Kepentingan ini harus dapat diakomodasikan dengan tujuan perusahaan yang telah digariskan untuk menghindarkan terjadinya konflik di tingkat manajemen.

Nabi Palsu

Dalam kaitan dengan pemilihan calon pengganti yang diupayakan ini, Harri Levinson (Harvard Business Review, 1974) mengemukakan bahwa terdapat 4 tipe calon yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang maksimal yakni:

(1) Tipe pelayanan yang setia (loyal servant) yang dinilai memiliki dedikasi dan integritas yang tidak diragukan. Segenap tradisi, kepentingan dan tuntutan yang ada dapat dijamin kelanggengannya dan “campur tangan” dari CEO yang akan mengundurkan diri tidak mendapat hambatan.
(2) Tipe penunggu yang waspada (watchful waiter). Tipe calon ini dimunculkan oleh eksekutif manakala tidak tersedia seorangpun yang dapat diandalkan untuk dipromosikan dari dalam perusahaan. CEO tersebut terpaksa merekrut seorang profesional yang sedang cemerlang bintangnya dari luar. Namun kenyataanya, ‘sang bintang’ tersebut hanya diberi posisi yang telah disediakan tanpa wewenang yang penuh untuk mengendalikan perusahaan. Kondisi ini sangat menyulitkan calon tersebut. Ada dua alternatif yang harus dipilih beserta konsekuensinya. Bila meninggalkan perusahaan, dia anggap tidak berhasil dalam tugasnya dan kehilangan muka di mata masyarakat. Bila tetap bertahan, dia tetap berada dalam bayang-bayang CEO tersebut dan mengalami demoralisasi dalam dirinya dan juga mempengaruhi iklim organisasi secara keseluruhan.
(3) Tipe nabi palsu (false prophet), dimana calon yang ingin dipromosikan tidak memiliki kualifikasi yang cocok dengan tuntutan dan kriteria sebagai seorang eksekutif. Pilihan yang dilakukan lebih didasarkan atas upaya mengatasi masa kritis dalam perusahaan. Biasanya calon tersebut telah dikenal luas di masyarakat karena prestasinya dalam bidang tertentu.
(4) Tipe sangkar kosong (empty nest), di mana CEO mengambil suatu kebijakan untuk tidak menyiapkan seorang calon pun yang akan dipromosikan sebagai penggantinya. Kompetisi yang ketat diciptakan di tingkat manajemen hingga tiba saatnya bila dibutuhkan akan memilih salah satu di antaranya untuk mengisi kekosongan.

Kinerja Dan Kharisma

Proses pemilihan calon untuk mengisi posisi CEO yang tersedia lebih sering bersifat subyektif. Dengan demikian mungkin terjadi ‘salah pilih’ di kemudian hari. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dipikirkan pembentukan tim kecil di tingkat direksi untuk melakukan evaluasi terhadap calon-calon yang tersedia, baik dari dalam atau dari luar perusahaan. Evaluasi dilakukan atas pertimbangan faktor-faktor situasi pasar dan perilaku konsumen, masalah lingkungan hidup dan konservasi, kompetisi yang terus meningkat, keadaan ekonomi dan trend yang menyeluruh.

Agar evaluasi memberikan hasil yang maksimal, dibutuhkan penjajakan atas kinerja (performance appraisal) calon yang diajukan. Maksudnya untuk mengetahui berbagai potensi dan kemampuan yang sangat dibutuhkan sebagai seorang CEO. Kemampuan dan potensi ini antara lain kemampuan melakukan konseptualisasi ide-ide dan kebutuhan strategis perusahaan, kemampuan memberikan dukungan dan dorongan kepada bawahan, dan kemampuan mengembangkan potensi yang ada dalam perusahaan dengan menciptakan interdependensi dan bukan rivalitas yang destruktif seraya menerapkan komunikasi dua arah.

Seringkali terjadi bahwa perusahaan-perusahaan besar masih melakukan praktek manajemen sumber daya manusia berdasarkan kebutuhan jangka pendek. Pola perencanaan karir seorang kurang diperhitungkan.

Bila perusahaan tersebut mmiliki ‘man power planning’ yang baik, maka pada saat timbulnya kebutuhan akan suksesi, hal ini akan segera bisa dipenuhi dengan pola rekrutmen dari dalam. Bila perencanaan karir ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka perusahaan terpaksa menggunakan sumber dari luar perusahaan.

Di sini akan muncul masalah baru, di mana ‘pendatang baru’ tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan perusahaan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah faktor usia yang calon yang dikaitkan dengan situasi intern dan ekstern perusahaan yang sedang berkembang. Manakala situasi dan kondisi sedang bergejolak, maka dibutuhkan seorang CEO yang lebih muda dan dinamis.

Bila keadaan perusahaan sedang mengalami demoralisasi, maka dibutuhkan seorang CEO yang mapan dalam usia dan cukup memiliki karisma guna mempersatukan segenap jajaran dalam perusahaan.
Di lain pihak, hendaknya tidak digantukan harapan pada soang calon untuk menghindari faktor ketidak-pastian yang manusiawi. Oleh karena itu, akan lebih aman bila memiliki lebih dari satu calon. Dan hal ini telah terbukti kebenarannya.

Catatan:

+ Tulisan ini telah dibuat di Harian “Bisnis Indonesia”, tanggal 28 April 1992.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Bank: Untung-Rugi Kebijakan Ekspansif

Posted on Desember 29, 2011. Filed under: Uncategorized |

Adalah suatu konsekuensi yang wajar sejak dikeluarkannya berbagai deregulasi di bidang moneter dan perbankan, bank-bank mengalami perkembangan yang mencolok. Pada Juni 1991 jumlah bank di seluruh tanah air meningkat menjadi sekitar 182 buah, terdiri atas bank umum, bank pembangunan dan bank tabungan.

Bila dibandingkan dengan posisi terakhir pada Maret 1990, jumlah bank hanya mencapai 151 buah, pada Juni 1991 telah bertambah sebanyak 31 buah bank baru. Sedangkan jumlah kantor bank yang terdiri atas kantor pusat, kantor cabang dan kantor cabang pembanntu pada akhir Maret 1990 sebanyak 2.842 kantor dan telah berkembang menjadi 4.050 kantor.

Di lain pihak, perkembangan bank perkreditan rakyat (BPR) yang terdiri atas bank desa, lumbung desa, bank pasar dan bank pegawai, juga menunjukkan peningkatan yang berarti. Lagi pula bank-bank asing dan bank campuran yang selama ini hanya diijinkan beroperasi di Jakarta dapat mendirikan cabang dan memperluas wilayah kerjanya, membuat iklim persaingan makin marak dan ketat.

Eksistensi

Perkembangan lembaga keuangan dan perbankan ini juga melanda DKI Jakarta sebagai pusat dan indikator perdagangan dan bisnis di tingkat nasional. Dari data di bawah ini terlihat jelas peta persaingan yang tercipta antar-bank di wilayah ini.

Pada Juni 1991 saja sudah terdapat 144 buah bank yang terdiri dari 127 bank umum, 3 bank pembangunan, 1 bank tabungan dan 13 bank perkreditan rakyat (Bank Indonesia, Desember 1991). Bila dilihat dari jumlah, bank swasta mencapai 136 buah (94,44 persen) dan memiliki 1.001 kantor (81,78 persen). Sementara bank pemerintah 8 buah (5,5 persen) dan memiliki 223 kantor (18,22 persen).

Jumlah kantor bank yang cukup besar ini, di satu pihak bertujuan sebagai sarana memobilisasi dana masyarakat dan mendukung pembiayaan pembangunan. Di pihak lain, ekspansi ini perlu dilakukan dalam rangka memperluas jaringan distribusi dan lebih mendekatkan diri serta menunjukkan eksistensinya kepada nasabah.

Di lokasi yang menjadi pusat kegiatan bisnis dan sepanjang ‘jalan emas’, terlihat kantor bank yang tidak cukup dihitung dengan menggunakan jari tangan. Misalnya, di pusat perdagangan Lokasari (Jakarta Barat) saja terdapat belasan kantor bank yang berada pada satu lantai. Pemandangan yang sama juga dapat dilihat di pusat perkantoran dan perbelanjaan. Bahkan kampus dan rumah sakit yang pada era Pra-Pakto 27 masih kurang mendapat perhatian dari kalangan perbankan, kini sudah memiliki beberapa kantor bank.

Relokasi

Namun di lain pihak, terdapat kekhawatiran bahwa ekspansi yang dilakukan kalangan perbankan ini lebih ditujukan untuk memanfaatkan peluang yang ada berkat berbagai deregulasi pemerintah. Kesempatan yang telah dibuka ini memang harus dimanfaatkan. Bisa saja sesewaktu pemerintah mengeluarkan regulasi baru yang membatasi jumlah bank dan kantor bank karena dianggap sudah melampaui batas kewajaran (Bisnis Indonesia, 2 Mei 1992). Karena itu, keinginan untuk melakukan ekspansi ini tidak dapat dikatakan sebagai ‘latah’ tanpa suatu pertimbangan yang matang.

Ekspansi suatu bank, pada dasarnya bertujuan untuk menyediakan ‘outlet’ penjualan produk yang dihasilkan dengan menggunakan sumber daya organisasi dalam melayani konsumen secara layak. Pemilihan lokasi, dalam rangka ekspansi ini merupakan suatu tugas yang memerlukan penelitian mendalam mengenai nasabah, baik faktor geografis, mencakup tempat tinggal, faktor demografis dan kondisi sosial-ekonomis, maupun kegiatan bisnis yang ada di wilayah tersebut. Di sini dapat dilihat tingkat kebutuhan nasabah terhadap bank yang dikaitkan dengan sektor usaha yang lebih menjadi fokus perhatian bank tersebut dan frekuensi hubungan dengan bank.

Berdasarkan kegiatannya, tingkat hubungan nasabah dengan bank dapat dibedakan menjadi hubungan langsung (face-to-face) dan hubungan tidak langsung. Misalnya, kebutuhan nasabah akan uang kontan dapat dipenuhi melalui ATM atau kartu kredit, menyediakan jaringan komunikasi yang lebih andal dan menggunakan armada kas keliling sehingga nasabah tidak perlu berhubungan langsung dengan petugas bank. Tetapi, manakala nasabah membutuhkan hubungan yang lebih pribadi untuk mendiskusikan kegiatan usahanya, menegosiasi kredit dan kebutuhan investasi, maka dibutuhkan kantor bank yang mudah dijangkau.

Di masa yang akan datang, hubungan langsung antara nasabah dan kantor bank makin berkurang berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini perlu mendapat perhatian kalangan perbankan dalam menentukan lokasi kantornya. Salah satu diantaranya adalah faktor Rencana Umum dan Tata Ruang (RUTR) dan pengembangan kota yang pesat dewasa ini yang membawa dampak kurang menguntungkan.

Beberapa wilayah yang dewasa ini kelihatan prospektif, bisa menjadi ‘neraka’ di kemudian hari. Kalangan perbankan dan nasabah akan dihadapi dengan berbagai kendala yang ada di kota besar seperti kepadatan dan kemacetan lalu lintas serta gangguan komunikasi lainnya. Apalagi setiap bank berlomba untuk menempati lokasi strategis untuk meningkatkan statusnya di mata masyarakat.

Dalam hal ini, penentuan suatu lokasi untuk ekspansi membutuhkan kreativitas tersendiri. Hal ini bertolak-belakangan dengan pendekatan tradisional selama ini yang menganggap bahwa semakin banyak outlet (cabang) semakin baik perkembangan bank tersebut. Suatu kantor bank yang telah beroperasi beberapa waktu lamanya membutuhkan langkan evaluasi terhadap kinerja dan prestasi yang dicapainya selama itu.

Dari hasil evaluasi ini bisa diperoleh beberapa kesimpulan: menutup, memperbaiki, merasionalisasikan dengan cabang yang lebih dekat dan melakukan relokasi. Beberapa bank yang terkenal gencar melakukan ekspansi selama beberapa tahun ini, terpaksa melakukan relokasi kantor yang dinilai kurang berhasil menjalankan fungsinya.

Tingkat keberhasilan suatu kantor bank yang dievaluasi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: (1) faktor sosio-ekonomis dan segmen pasar yang dimasuki; (2) gaya hidup berupa pola hidup mewah; (3) frekuensi hubungan dengan konsumen yang dipengaruhi oleh penggunaan kartu kredit dan tabungan yang dilayani dengan armada kas keliling; (4) faktor emosional dan psikologis yaitu kalangan yang memiliki status tertentu membutuhkan pelayanan yang khusus; dan (5) perbandingan antara revenue yang diperoleh dan biaya (cost) yang dikeluarkan.

Konsolidasi

Persaingan yang ketat antar bank hendaknya dipandang sebagai pendorong bagi upaya pengembangan profesionalitas dan peningkatan efisiensi. Hanya bank yang efisien yang bisa tertahan. Untuk itu perlu diperhitungkan, sebelum mengambil langkah yang lebih jauh, maka berbagai pekerjaan rumah harus dibereskan dulu, antara lain melakukan konsolidasi untuk meningkatkan citra di mata masyarakat.

Hal ini bisa dilakukan di bidang operasional dan kelembagaan untuk mempertahankan keberhasilan yang telah dicapai, antara lain: (1) mengembangkan teknologi perbankan untuk meningkatkan otomasisasi operasional dan jaringan komunikasi yang efisien dan efektif dalam rangka menjaring dana lebih besar; (2) meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan segenap personil yang terlibat untuk memperoleh kepercayaan dari nasabah; (3) menawarkan produk yang menarik dan berorientasi pasar; dan (4) melakukan pemasaran yang agresif untuk memperluas pangsa pasar.

Tentu saja keberhasilan pengoperasian suatu kantor bank sangat tergantung kepada analisis kebutuhan nasabah dan sejauh mana bank yang bersangkutan berupaya memenuhinya. Upaya merangkul para nasabah ini dilakukan bank dengan menciptakan produk yang diharapkan dapat mengungguli para pesaingnya. Di sini bank diharuskan untuk lebih memperhatikan ‘trend’ yang berkembang di masyarakat, berserta berbagai macam kebutuhan yang muncul.

Suatu hal yang menjadi pusat perhatian pihak bank adalah gaya hidup (life style) yang merupakan dampak meningkatnya pendapatan, teknologi dan informasi dalam era globalisasi. Bagi kalangan bank, perkembangan gaya hidup ini menjadi kesempatan yang harus dimanfaatkan secara tepat dan cepat. Beragam produk disiapkan dan bisa saja sama dengan produk yang ditawarkan bank pesaingnya. Tetapi, bank harus memunculkan suatu produk lain yang secara psikologis memiliki nilai plus. Hal ini memungkinkan bank tersebut merangkul lebih banyak nasabah dibandingkan pesaingnya.

Ujung Tombak

Kesiapan menghadapi berbagai perkembangan mesti dilakukan sejak dini. Bank yang terlalu pesat berkembang tanpa dibarengi dengan pengelolaan yang baik dan berhati-hati, cepat atau lambat akan mengalami kesulitan sendiri. Antara lain, mengalami penurunan (degradasi) tingkat kesehatannya. Memang, dalam memanfaatkan peluang yang tersedia beberapa bank lebih memilih sikap bersabar seraya membenahi organisasinya. Karena disadari bahwa kunci keberhasilan tidak semata-mata ditentukan oleh beberapa banyak kantor yang dimiliki, tetapi seberapa baik pelayanan diberikan kepada konsumen. Dan konsumen semakin jeli dalam memilih bank yang dianggap dapat dipercaya.

Di satu pihak, dapat dikatakan bahwa akibat diberlakukannya kebijakan uang ketat (tight money policy) dan membesarnya tingkat kredit yang macet, kalangan perbankan diharuskan memenuhi kebutuhan dananya, antara lain dengan menghimpun dana masyarakat. Dalam meraih nasabah sebanyak-banyaknya ini, bank menawarkan suku bunga yang tinggi dan menarik disertai iming-iming berupa hadiah.

Tindakan ini, di satu pihak justru menambah biaya operasional sekaligus menaikkan tingkat suku bunga pinjaman. Namun, di pihak lain bank diharuskan menjaga tingkat efisiensi dan efektivitas suatu kantor bank yang dikaitkan dengan hasil yang diperoleh dalam pengumpulan dana dan memberikan pelayanannya.

Bagaimana pun juga, sebuah kantor yang didirikan bank, apakah itu kantor cabang penuh, kantor cabang pembantu dan kantor kasi sekalipun merupakan ‘ujung tombak’ dalam menembus pasar di segala penjuru untuk ‘memburu rupiah’. Ini tetap menuntut sikap hati-hati, karena pisau yang digunakan itu ‘bermata dua’.

Catatan:
+ Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum “Bisnis Indonesia” pada tanggal 5 Juni 1992

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Excellent Service

Posted on Desember 29, 2011. Filed under: Uncategorized |

Agaknya upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak dalam era pembangunan ini. Perkembangan pembangunan sendiri telah mencapai suatu tahap baru, di mana persaingan antar-perusahaan di satu pihak, dan persaingan antar-negara di lain pihak telah menjadi semakin tajam. Sementara itu, dalam memberikan jasa pelayanan yang merupakan suatu unsur yang menentukan untuk memenangkan persaingan (competitive edge), kita masih ketinggalan.

Peningkatan mutu pelayanan ini tentu menjadi perhatian dan tanggung-jawab semua pihak. Hal ini harus dimulai dari lingkungan pekerjaan dan bidang usaha masing-masing, baik dunia usaha swasta maupun pemerintah. Secara konkrit, upaya ini tercermin pada hal-hal yang dianggap sepele, antara lain pengiriman barang, memelihara kebersihan dan melayani pelanggan secara memuaskan dari segi waktu dan mutu.

Di lain pihak, disadari bahwa mutu pelayanan sifatnya serba tidak kelihatan dan sangat subyektif dalam penilaiannya. Bila muncul ketidak-puasan, itulah satu-satunya sarana untuk menilai proses pelayanan dan mengambil langkah ke arah peningkatan mutu. Upaya ini didasari pada suatu kekurangan yang diambil hikmahnya. Dari sini kita berupaya memperbaiki dan mempertahankan mutu tersebut. Dengan demikian, pelanggan akan merasa puas dan bersedia untuk memakai jasa yang ditawarkan kepadanya.

Keadaan ini membutuhkan interaksi yang harus terjalin secara saksama, baik antara pelanggan dan perusahaan pemberi jasa, maupun antara karyawan dan perusahaan tempatnya bekerja. Pelanggan dirangsang untuk mau mengemukakan keluhan yang dialami secara leluasa bila menemukan kekurangan dalam menikmati suatu jasa pelayanan.

Subyektif

Pelanggan merupakan salah satu pemberi masukan dalam upaya peningkatan mutu. Persoalan paling besar yang dihadapi pimpinan industri jasa adalah bagaimana menggunakan saran yang terbaik agar para pelanggan mau memberikan masukan. Memang hal ini merupakan suatu pekerjaaan yang sulit karena dipengaruhi oleh faktor subyektivitas.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengukur tingkat kepuasan pelanggan, antara lain melakukan survei, menerima pengaduan pelanggan, dan menyebarkan angket yang dilakukan dalam kurun waktu yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan tingkat urgensinya.

Di lain pihak, karyawan sendiri merupakan sumber masukan yang sangat berharga juga. Mereka dapat diajak untuk terlibat secara penuh dalam proses peningkatan mutu. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan merekayasa situasi, peralatan dan pemberian insentif yang memadai. Dengan demikian mereka terdorong dan mau terlibat secara penuh dalam tim atau kelompok dan perusahaan.

Upaya yang dilakukan secara terus-menerus ini akan menyebabkan karyawan tidak akan meninggalkan perusahaan karena ada rasa memiliki (sense of belonging) dan mendatangkan kepuasan kepada pelanggan. Karena bagi suatu industri jasa, kepuasan pelanggan adalah modal demi kelangsungan usaha.

Dalam suatu pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh majalah Electronic Business terhadap para CEO di 582 perusahaan diperoleh hasil yang memperkuat pendapat tersebut di atas. Sebanyak 76 persen mengemukakan bahwa cara terbaik untuk meningkatkan mutu pelayanan bersumber pada keterlibatan (motivasi) karyawan. Posisi berikutnya adalah komunikasi yang baik dengan para pelanggan sebanyak 33 persen, pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan mutu sebanyak 26 persen, pembentukan tim khusus yang menangani peningkatan mutu sebanyak 18 persen, masukan dari para pemasok sebesar 16 persen, pelatihan bagi para karyawan sebesar 13 persen, aplikasi statistik sebanyak 12 persen dan otomatisasi sebanyak 7 persen.

Rasa Aman

Sejauh ini terdapat 4 (empat) faktor yang dapat dijadikan sebagai prioritas oleh perusahaan jasa pelayanan dalam rangka memenangkan suatu persaingan (competitive advantage). Faktor-faktor tersebut menurut Robert H. Hayes dan Steven C. Wheelwright dalam bukunya “Restoring Our Competitive Edge” (1984), adalah harga (price), kualitas ), (qualityketerpercayaan (dependability) dan keluwesan (flexibility).

Harga suatu jasa yang ditawarkn memang bersifat ‘given’, artinya sangat berkaitan erat dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk produksi. Faktor harga inilah yang paling banyak digunakan untuk memenangkan suatu persaingan. Tapi faktor ini tidak selamanya digunakan sebagai strategi yang menentukan. Faktor kualitas juga berperan karena berapapun biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu jasa yang berkualitas tidak akan diragukan lagi. Kualitas produk ini akan menjadi acuan bagi produk sejenis. Dengan demikian pelanggan akan menikmatinya dengan senang hati.

Dari segi keterpercayaan (dependability), jasa yang ditawarkan itu memang dinilai dari segi harga dan kualitas memiliki nilai lebih karena memberikan rasa aman (peace of mind). Karena pelanggan tidak hanya menikmati jasa itu saja, tetapi mereka juga mendapatkan pelayanan yang memiliki keunggulan tersendiri yakni mutu yang pasti dan waktu penyerahan yang tepat, kesigapan dalam memberikan jaminan bahwa setiap kekurangan akan ditanggulangi dengan segera dengan menggunakan segenap sumber daya yang dimilikinya.

Sedangkan faktor keluwesan (flexibility) sangat ditentukan oleh kesiapan perusahaan dalam memenuhi berbagai kebutuhan pelanggan yang dinilai unik dan spesifik sesuai dengan selera mereka.

Permintaan dari pelanggan tersebut bisa saja berupa pelayanan yang dinilai sangat rumit dan tidak sesuai dengan standar yang berlaku umum. Atau bahkan pelanggan tersebut meminta suatu kreasi yang baru sama sekali.

Keempat faktor tersebut masih merupakan pilihan yang dirasakan paling sesuai untuk diterapkan. Memang tidak mungkin untuk menerapkan keempat strategi itu secara bersamaan. Salah satu faktor lainnya adalah upaya meningkatkan mutu pelayanan sebagai cara yang menentukan kepuasan pelanggan. Hal ini harus dilakukan secara berkesinambungan.

Bisa Diatur

Di lain pihak, keberhasilan usaha ini sangat ditentukan oleh faktor sumber daya manusia yang tidak dapat dipisahkan dari budaya, sikap dan orientasi nilai dari masyarakat yang ada di lingkungan perusahaan tersebut. Karena itu sebuah perusahaan dituntut untuk memiliki falsafah perusahaan (corporate philosophy) yang akan dijadikan sebagai pegangan dan orientasi dalam menjalankan strategi perusahaan.

Falsafah perusahaan ini biasanya dirumuskan dan diimplementasikan melalui suatu proses yang memakan waktu, membutuhkan dukungan serta koordinasi dari berbagai pihak dalam perusahaan tersebut. Rumusan ini diambil dari berbagai nilai dan preferensi yang berkembang dalam organisasi, diyakini secara bersama dan dijadikan sebagai arahan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, rumusan itu juga digunakan dalam menentukan strategi yang berkaitan dengan kehidupan organisasi, pelanggan, pemasok dan masyarakat luas.

Beberapa perusahaan yang terkenal maju dan berkembang pesat sekalipun, tetap merasakan manfaat dari falsafah perusahaan ini. Misalnya, falsafah perusahaan Hewlett-Packard dinyatakan dalam beberapa kalimat dan ungkapan yang jelas dan dikaitkan dengan: (1) kegiatan usaha (company related) yaitu tidak ada utang jangka panjang, ekspansi pasar dan keunggulan produk berdasarkan kontribusi produk baru, kepuasan pelanggan di atas segala-galanya, dan rasa hormat dan integritas dalam segala situasi; (2) orientasi kepada manusia (people related), di mana perusahaan mempercayai karyawan, mengutamakan kerjasama dan tanggung jawab di antara mereka dan menciptakan lingkungan kerja yang prima.

Falsafah perusahaan ini tentu saja sangat berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya tergantung bidang usaha dan fokus perhatiannya. Tetapi ada suatu hal yang berlaku umum untuk semua perusahaan ini yakni falsafah perusahaan akan mengilhami dan menjadi pedoman bagi perusahaan sejak penentuan strategi produksi hingga pemasaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Semua pihak yang terlibat dan berpegang pada falsafah perusahaan ini memiliki rasa bangga bila mampu bertingkah-laku sesuai dengan yang ditetapkan (company way).

Revolusi Sikap

Untuk mencapai tingkat tersebut, masih banyak hal yang harus dibenahi dan membutuhkan suatu revolusi sikap yang tercermin dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan di perusahaan. Mutu pelayanan yang diharapkan tidak dapat dicapai dalam waktu sekejap. Upaya ini membutuhkan kerja keras untuk menyingkirkan berbagai hambatan artifisial. Hambatan ini akan mengganggu arus informasi dalam perusahaan dan hubungan kerjasama antar divisi dan unit kerja. Di sini karyawan membutuhkan wewenang, berupa desentralisasi dalam pengambilan keputusan, baik dalam pembelian distribusi, penjualan, pemasaran maupun keuangan.

Karena hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi, beberapa hal harus dibenahi segera khususnya berkaitan dengan sikap mental. Semua pihak mau menerima koreksi dan kritik, menghilangkan pola hubungan yang bersifat ‘patron-client’ dan paternalisme yang masih sangat melekat di hati masing-masing.

Catatan:

+ Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum “Bisnis Indonesia”, tanggal 19 Juni 1992
+ Pada saat itu penulis bekerja sebagai konsultan di PT Indoconsult – Jakarta

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Globalisasi dan Profesionalitas Karyawan

Posted on Desember 28, 2011. Filed under: Uncategorized |

Secara keseluruhan, ekonomi dunia saat ini tampak lemah dan diwarnai oleh berbagai ketidak-pastian dan persaingan yang semakin ketat. Hal ini tentu menjadi picu bagi pemerintah dan pengusaha untuk meningkatkan daya saing agar pelaksanaan strategi pembangunan dapat tercapai dengan baik.

Untuk memenangkan kompetisi, suatu negara atau perusahaan tidak dapat lagi mengandalkan produk unggulan dan comparative advantage lain yang dimiliki. Merreka harus memperhatikan kualitas tenaga profesional dan seberapa jauh makna globalisasi itu dipahami, khususnya di segenap jajaran perusahaan. Profesionalitas sudah harus diberlakukan semaksimal mungkin, mengingat keterkaitan langsung dengan dunia luar tidak dapat dihindari lagi.

Masalahnya, hingga kini banyak kalangan bisnis di sini masih mengandalkan proteksi, kemudahan dan berorientasi ke dalam negeri yang berlebihan. Wawasan yang lebih luas dari kalangan profesional ini merupakan suatu kebutuhan mendesak karena diperkirakan di masa mendatang sekitar 30 – 50 persen kegiatan struktural perusahaan dilakukan di luar negeri. Kini saja telah banyak perusahaan domestik yang melebarkan sayapnya ke berbagai negara.

Harus Ditularkan

Pemikiran mengenai globalisasi dalam bidang usaha ini tampaknya masih terpusat di kalangan pimpinan dan belum ditularkan kepada staf di tingkat manajemen menengah atau lebih rendah lagi. Hal ini perlu diubah agar perusahaan – dengan dukungan karyawan dan staf yang trampil – dapat mengakselerasikan diri dengan tuntutan globalisasi. Namun, untuk ini diperlukan kesepaktan oleh pemimpin perusahaan tersebut.

Suatu studi yang dilakukan oleh Global Partners dari Boston (World Executive’s Digest, 1993) terhadap 93 manajer di berbagai perusahaan menunjukkan bahwa belum ada pemahaman seragam di kalangan mereka mengenai pengertian globalisasi, walau pun hal ini telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Sekitar 71 persen responden memberikan jawaban yang berbeda dan hanya 31 persen yang mengatakan bahwa mereka memahaminya.

Penelitian itu juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden sepakat mengenai beberapa langkah yang harus diambil berkaitan dengan perubahan-perubahan struktural di tingkat organisasi dan pergeseran fokus kegiatan dari tingkat domestik menuju globalisasi.

Struktural

Secara struktural perkembangan operasionalisasi perusahaan dapat diidentifikasi dalam 4 (empat) tingkat yakni:

1) Struktur domestik (domestic structure). Dalam struktur ini, kegiatan perusahaan yang bersifat internasional lebih berkaitan dengan ekspor, perolehan lisensi dan melakukan usaha patungan (joint-venture);

2) Struktur multinasional (multinational structure). Kegiatan perusahaan yang bersifat internasional dilakukan dengan jalan mendirikan berbagai anak perusahaan di luar negeri. Struktur yang sedemikian banyak dilakukan secara tradisional oleh perusahaan-perusahaan dari daratan Eropa;

3) Struktur internasional (international structure). Struktur ini memberikan kemungkinan bagi perusahaan untuk membentuk suatu divisi yang terpisah yaitu divisi domestik dan divisi internasional. Struktur ini banyak digunakan oleh perusahaan Amerika Serikat.

4) Struktur global (global structure). Dalam struktur ini tidak ada pemisahan antara divisi domestik dan divisi internasional. Setiap kegiatan yang dilakukan di luar negeri diawasi secara ketat oleh kantor pusat. Struktur ini lebih banyak digunakan oleh perusahaan Jepang.

Pergeseran fokus perhatian dari tingkat domestik ke tingkat internasional banyak dilakukan oleh kalangan industri yang banyak mengandalkan kegiatan pemasaran produknya dengan jalan menekan biaya per unit. Hal ini dapat dilakukan karena ditunjang oleh berbagai faktor. Antara lain, perkembangan teknologi, berkurangnya hambatan dari kalangan pemerintah, dan makin berkurangnya benturan masalah ekonomi-sosial yang selama ini sering muncul di permukaan.

Perusahaan yang ingin “go international”, sangat riskan untuk menekan biaya dan harga produk yang dijual. Secara organisasional hal ini dapat dilakukan dengan mengatasi berbagai kendala yang membatasi perkembangan struktur perusahaan, melakukan pengawasan terpusat, penyesuaian terhadap tuntutan di tingkat lokal, serta memperlancar pengalihan pengetahuan dan ketrampilan bagi seluruh jajaran.

Selain membutuhkan visi dan strategi untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan budaya dan kepemimpinan, masing-masing pihak dalam perusahaan harus memahami tugas dan kewajibannya. Para manajer senior perlu lebih memperhatikan penetapan strategi dan struktur perusahaan.

Kalangan manajemen menengah dihadapkan dengan masalah kultur perusahaan, sistem pengupahan dan komunikasi. Sementara departemen sumber daya manusia mengarahkan segenap upayanya untuk meningkatkan ketrampilan sesuai kebutuhan perusahaan.

Proses Panjang

Kemampuan untuk memenuhi kriteria ini meruapakan suatu hasil dari proses panjang dan bukan hanya mengandalkan bakat atau pembawaan dari lahir (global managers are made, not born). Hal ini dikatakan oleh Percy Marnevik, CEO ABB – Asea Brown Boveri. Perusahaan ini banyak menggunakan manajer lokal di negara tempatnya beroperasi, namun tetap berpegang teguh pada slogan dan prinsip yang telah digariskan yaitu think globally, act locally”.

Di samping itu masih terdapat berbagai kriteria yang harus dipenuhi oleh para manajernya. Antara lain, memiliki keahlian teknis yang tinggi, mampu beradaptasi dengan lingkungan, mampu bernegosiasi secara efektif, mampu memberikan motivasi dan mampu memecahkan masalah secara cepat dan efisien.

Sejalan dengan ekspansi bisnis yang mengglobal, para manajer akan dihadapkan dengan berbagai masalah, baik di dalam (organizational changes) maupun di luar (environmental changes).

Perubahan lingkungan eksternal sangat dipengaruhi oleh perubahan teknologi, orientasi masyarakat, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Masalah yang dihadapi ini tiak saja menjadi hambatan, tetapi juga sebagai sebagai tantangan.

Kekuatan Integratif

Secara internal, manajemen suatu perusahaan perlu ditangani secara integratif. Setiap divisi atau unit kerja memiliki keterkaitan dengan divisi atau unit lainnya. Misalnya, divisi produksi dan divisi pengolahan atau divisi pengembangan yang saling menjalin kerjasama.

Kerjasama itu membutuhkan suatu pendekatan interdisiplin yang bertujuan untuk menumbuh-kembangkan komunikasi antar-divisi atau antar-unit yang berbeda tersebut. Arus informasi diupayakan tidak mengalir hanya ke atas atau ke bawah, tetapi juga ke samping.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kurangnya komunikasi antar-divisi atau antar-unit, yakni:

• Kesibukan masing-masing divisi atau unit, sehingga kesempatan untuk berkomunikasi mengenai berbagai nilai ataua visi yang hendanya diyakini bersama menjadi berkurang;
• Organisasi secara sengaja atau tidak sengaja menumbuhkan ‘profit centers’ yang otonom dan mengisolasikan dirinya dari kelompok lainnya. Hal ini dapat menimbulkan konflik yang bila tidak ditangani secara dini akan berakibat fatal.

Masih Panjang

Harus disadari bahwa antara pendidikan dan latihan terdapat suatu perbedaan yang mendasar. Pendidikan yang diperoleh baik formal maupun informal membentuk nilai-nilai dan orientasi budaya yang sangat mengakar. Dengan demikian latihan yang diberikan di luar negeri, hanya menambah ketrampilan dan tidak dapat mengubah atau menghilangkan nilai-nilai dan oerientasi budaya seseorang. Memang, pengalaman selama berada di luar negeri akan memperkaya wawasan seseorang.

Ada pun kenyataanya bahwa kondisi yang ada sekarang masih merupakan suatu tahapan dari proses panjang ke arah membangun profesionalitas karyawan yang berwawasan global dalam pengelolaan perusahaan. Secara umum, kondisi dan budaya Indonesia yang paternalistik tidak bisa dipisahkan dari praktik manajemen yang sedang dibangun.

Dengan demikian kombinasi dan interaksi antara manajer profesional dan pemilik di suatu pihak, serta antara pengetahuan manajemen yang bersumber dari Barat dan kondisi budaya yang sedang berkembang di lain pihak, akan menjadi suatu formula ideal untuk diterapkan.

Catatan:

+) Telah dimuat di Harian Umum Bisnis Indonesia tanggal 11 Maret 1993
+) Pada waktu itu penulis menjadi konsultan pada Divisi Ekonomi dan Manajemen, PT Indoconsult, Jakarta.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Globalisasi dan Budaya ABS…!!!

Posted on Desember 28, 2011. Filed under: Uncategorized |

Perkembangan dunia di abad 21 ini ditandai dengan globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi telah menjadi salah satu kekuatan yang memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan bangsa, masyarakat, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis di Indonesia.

Globalisasi telah menyebabkan meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions). Perdagangan dunia ditandai dengan aliran barang dan jasa dalam jumlah yang besar, perputaran dana internasional (international capital flows), mobilisasi tenaga kerja (human movement) antar-negara dan penyebaran teknologi informasi yang cepat.

Di era globalisasi ekonomi sekarang ini, bukan hanya produk unggulan yang dicari pelanggan, tetapi juga pelayanan yang memuaskan (excellent service and customer satisfaction) yang diterima dari sebuah perusahaan yang akan membuat mereka bertahan. Budaya perusahaan yang dipahami dan dihayati berjalan dengan baik akan memberikan pengaruh yang besar kepada proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan.

Kekuatan ekonomi global ini menyebabkan perusahaan-perusahaan perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan strategi usaha. Perusahaan-perusahaan ini harus melandaskan strategi manajemennya dengan basis mental kewirausahaan (entrepreneurship) , pola pikir yang menekankan efisiensi biaya (cost efficiency) dan keunggulan kompetitif (competitive advantages).

Budaya Perusahaan

Budaya perusahaan (corporate culture) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu perusahaan akan menentukan keberhasilan dalam menghadapi globalisasi ekonomi ini. Budaya perusahaan merupakan identitas bagi suatu perusahaan. Hal ini yang membedakan sebuah perusahaan dengan perusahaan yang lain. Misalnya, bagaimana perilaku satpam terhadap tamu, dan bagaimana pelayanan yang diberikan oleh para staf ‘customer service’ kepada para pelanggan.

Sementara itu, para pimpinan perusahaan dituntut untuk berpegang teguh pada visi dan misi perusahaan yang berlandaskan pada budaya perusahaan yang ada. Perubahan situasi dan kondisi ekonomi, baik secara internal maupun eksternal mendorong pimpinan perusahaan untuk mampu membuat sejumlah keputusan dalam waktu yang tepat dan cepat.

Dalam kondisi seperti ini, kualitas keputusan pimpinan perusahaan akan diuji. Hal ini merupakan cermin dari kemampuan seorang manajer dalam menjalankan tugasnya. Di satu pihak, tantangan yang dihadapi pimpinan perusahaan di satu pihak adalah keadaan yang sangat kompleks dan tidak menentu. Di pihak lain, pimpinan perusahaan dituntut untuk dapat bertindak luwes.

Dengan demikian, pimpinan perusahaan dituntut untuk (1) meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai pengaruh dari budaya perusahaan terhadap perkembangan suatu perusahaan dalam menghadapi globalisasi yang terjadi dewasa ini; dan (2) memperluas wawasan mengenai praktek-praktek pengambilan keputusan yang efektif dalam perkembangan lingkungan internal dan eksternal perusahaan yang sangat dinamis untuk memenuhi harapan dari para ‘shareholders’ dan ‘stakeholders’ dari perusahaan.

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan.

Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.

Budaya perusahaan membantu meningkatkan stabilitas sistem sosial di perusahaan. Mungkin hal ini mirip dengan budaya yang ada di suatu wilayah atau negara. Kita bisa melihat budaya Jepang yang kuat dan tangguh ketika mereka menghadapi musibah seperti tsunami yang baru-baru ini terjadi. Begitu halnya dengan budaya perusahaan. Perusahaan dengan budaya yang kuat dan berakar cenderung akan memiliki daya tahan yang lebih pada saat diterpa krisis.

Berkaitan dengan budaya perusahaan ini, maka terdapat beberapa pengertian budaya perusahaan menurut beberapa ahli : (a) Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391): budaya perusahaan adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri; (b) Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya perusahaan adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi; (c) Schein (1992:12), budaya perusahaan adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.

Dapat disimpulkan bahwa budaya perusahaan adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi. Dengan kata lain, budaya perusahaan (corporate culture) adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

Di lain pihak, dikatakan bahwa ada 7 ciri-ciri budaya perusahaan (Robbins (1996:289) adalah :

a. Inovasi dan pengambilan resiko, di mana dilihat sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
b. Perhatian terhadap detail, di mana dilihat sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
c. Orientasi hasil, di mana dilihat sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
d. Orientasi orang, di mana diperhatikan sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu.
e. Orientasi tim, di mana diperhatikan sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya individu.
f. Keagresifan, di mana dilihat bagaimana agresivitas karyawan.
g. Kemantapan, di mana dilihat bagaimana organisasi menekankan dan mempertahankan budaya organisasi yang sudah baik.

Sesuai dengan definisinya bahwa budaya perusahaan merupakan kumpulan nilai-nilai budaya yang dikumpulkan dan dikembangkan di dalam suatu perusahaan, maka menurut Atmosoeprapto (2001:71) unsur-unsur dari sebuah budaya perusahaan yaitu (a) lingkungan usaha yaitu lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan; (b) nilai-nilai (values) yaitu konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi; (c) panutan dan keteladanan yaitu orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya; (d) upacara-upacara (rites) yaitu acara-acara ritual yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya; (e) jaringan komunikasi informal (informal communication network) di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaa
Sebagaimana budaya pada umumnya, maka budaya perusahaan pun tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh yang tumbuh dan berkembang, baik di dalam perusahaan itu maupun di lingkungan sekitarnya.

Faktor-faktor yang mempengaruh itu yakni (a) peningkatan perubahan teknologi yang pesat; (b) semakin rumitnya tugas manajerial; (c) lingkungan luar perusahaan yang semakin kompleks; dan (d) tuntutan globalisasi agar perusahaan kompetitif

Asal Bapak Senang

Pengambilan keputusan (desicion making) adalah kegiatan melakukan penilaian dan menentukan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi masalah utama, menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan keputusan yang terbaik.

Tugas pimpinan perusahaan sehari-hari adalah memecahkan masalah yang dihadapi di dalam perusahaan dengan jalan mengambil keputusan (problem solving through decision making). Semua fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, motivasi, kepemimpinan, koordinasi, pengawasan dan pengendalian membutukan peranan seorang manajer yang handal dalam pengambilan keputusan.

Seperti kita ketahui, salah satu kelemahan kepemimpinan dalam perusahaan-perusahaan adalah banyaknya pemimpin yang ragu-ragu dan serba bimbang. Padahal, inti dari kepemimpinan adalah pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan kepemimpinan didasarkan pada nilai-nilai diri dan nilai-nilai perusahaan atau organisasi yang selaras. Dengan tujuan terciptanya pembangunan kepercayaan (trust) serta komitmen (commitment) dari key stakeholder. Karakter ini harus dapat ditemukan dalam diri sosok pemimpin sehingga anggota dalam organisasi perusahaan itu yakni para key stakeholder tidak menjadi korban dan dirugikan.

Di sini dapat disebutkan beberapa faktor-faktor budaya yang menghambat pengambilan keputusan yang efektif di kalangan pimpinan perusahaan yakni (a) sikap mental ‘asal bapak senang’ (ABS); (b) sikap mental yang berpegang pada ‘budaya minta petunjuk’; (c) sikap mental yang takut menghadapi resiko/kegagalan; (d) kurang adanya pengetahuan tentang organisasi; (e) kurang memahami tentang lingkungan; dan (f) kurang percaya bahwa organisasinya mampu mencapai sasaran.

Masalah daya saing dalam pasar dunia dalam era globalisasi yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu perusahaan tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang menentukan dalam meningkatkan kinerja perusahaan.

Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif bagi produk suatu perusahaan tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan dunia usaha. Keunggulan saing ini dapat dibangun melalui peningkatan kesadaran akan faktor produktivitas, profesionalisme, kreativitas, perilaku efesiensi, kualitas produk dan layanan yang prima, yang notabene merupakan ujung tombak dalam menghadapi kompetisi global. Faktor produktivitas dan efisiensi menjadi komponen dasar dalam membangun harga produk yang bersaing.
Harga produk yang murah bukan komponen satu-satunya dalam persaingan. Kualitas produk dan layanan prima kepada pelanggan merupakan faktor dominan dalam menciptakan kepuasan pelanggan. Dalam konteks ini maka profesionalisme dan kreativitas menjadi factor yang sangat penting bagi suatu perusahaan.

Transformational Leader

Perusahaan yang melakukan transformasi bisnis memperoleh banyak manfaat, antara lain: perusahaan dapat memfokuskan diri kepada bidang bisnis yang lebih menjanjikan (business repositioning), menciptakan daya tahan dan daya saing yang lebih besar, meningkatkan kemampuan organisasi agar dapat memiliki daya dukung yang lebih kuat, menciptakan nilai dan penghasilan finansial yang lebih besar serta berpeluang lebih besar menjadi perusahaan bertaraf kelas dunia.

Transformasi bisnis adalah seluruh proses perubahan yang diperlukan oleh suatu korporasi untuk memposisikan diri agar lebih baik dalam menyikapi dan menjawab tantangan-tantangan bisnis baru, lingkungan usaha yang berubah secara cepat maupun keinginan-keinginan baru yang muncul dari dalam perusahaan. Perubahan dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan terhadap pola pikir, pola pandang dan pola tindak perusahaan, strategi bisnis, budaya perusahaan maupun perilaku dan kemampuan organisasi. Pimpinan perusahaan yang memiliki visi yang luas dan jauh ke depan merupakan ‘transformational leader’.

Kerangka kerja transformasi bisnis meliputi rantai nilai transformasi bisnis, yang berisi tahapan-tahapan yang harus dilakukan agar perubahan yang dilakukan dapat menciptakan nilai, serta proses implementasinya, yang berisi langkah-langkah yang diperlukan dalam melaksanakan bisnis secara terencana dan baik.

Salah satu tahap dalam transformasi bisnis adalah pemantapan budaya perusahaan, yang merupakan jiwa organisasi. Acapkali dalam rangka pemantapan budaya perusahaan, sekedar memperkuat budaya perusahaan yang telah ada masih dirasakan kurang memadai. Nilai-nilai yang sudah hidup dalam tubuh organisasi mungkin kurang sesuai dengan strategi baru yang ditetapkan, sehingga nilai-nilai itu ada yang dirubah, ditambahkan, maupun dihilangkan.

Namun mesti diingat, perubahan budaya perusahaan menyerap banyak energi. Dalam tahap awal perubahan budaya perusahaan ini, yang disebut sebagai tahap dekristalisasi, energi yang digunakan untuk melakukan perubahan berkisar dari rendah hingga menengah. Pada tahapan ini dilakukan rasionalisasi dan legitimasi dari proses perubahan budaya perusahaan yang direncanakan, sebagai program antisipasi terhadap perubahan.

Tahapan kedua, yang disebut tahap metamorfosis, terjadi konflik yang disebabkan perbedaan interpretasi dan juga dilanjutkan proses pengkayaan menuju penerapan budaya perusahaan yang baru. Tahap yang melibatkan konfirmasi dan kulminasi ini menguras banyak energi.

Terakhir, proses perubahan budaya organisasi akan tiba pada proses integrasi. Pada tahapan ini, terjadi resolusi terhadap konflik yang terjadi, serta terbentuknya soliditas dari budaya organisasi yang baru terbentuk. Energi yang dibutuhkan berkisar dari menengah hingga rendah. Keseluruhan proses yang terjadi pada tahap ini disebut sebagai tahapan rekristalisasi .

Terdapat beberapa langkah utama yang tidak boleh dilewatkan. Pertama kali yang harus dilakukan adalah menelaah, apakah perubahan budaya perusahaan benar-benar perlu dilakukan ? Kemudian melakukan kajian terhadap nilai-nilai yang sudah ada dalam organisasi saat ini, serta melakukan review terhadap strategi perusahaan yang telah ditetapkan.

Kemudian dilakukan cross check dengan nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi. Maksudnya adalah untuk melihat apakah strategi strateginya sudah sesuai dengan nilai-nilai baru yang akan kita anut. Yang juga tidak boleh dilupakan adalah keselarasan antara pasar dengan budaya organisasi, karena setiap pasar menuntut karakteristik perilaku organisasi yang berbeda.

Penting juga ditelaah apakah ada perbedaan antara nilai-nilai inti dan sub-budaya yang akan diterapkan. Selanjutnya mengembangkan strategi dalam rangka sosialisasi budaya organisasi yang baru. Dan terakhir adalah mengembangkan strategi internalisasi budaya organisasi yang baru untuk diimplementasikan melalui cara-cara pengambilan keputusan yang efektif untuk menghadapi tuntutan globalisasi yang sedang terjadi.

Intrapreneur

Perkembangan dunia yang sangat dipengaruhi oleh globalisasi ini telah mendorong untuk menumbuh-kembangkan budaya perusahaan yang dihayati oleh setiap komponen yang ada yakni individu, kelompok dan juga pimpinan perusahaan. Dengan demikian penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Dalam hal ini pimpinan perusahaan harus berusaha untuk menumbuhkan iklim yang kondusif yang berdasarkan pemahaman budaya perusahaan yang ada dalam perusahaan. Dengan demikian sumber daya manusia yang ada terdorong untuk memiliki inisiatif yang tinggi akan memperoleh kesempatan untuk berkreasi dan akhirnya mendapat penghargaan.
b. Kalau disimak perkembangan perusahaan akhir-akhir ini, maka kita akan melihat bahwa perusahaan makin dituntut untuk menjadi tranparan dan fleksibel dalam menghadapi perkembangan lingkungan. Perusahaan modern akan sangat sulit berkembang bila pengambilan keputusan tersentralisasi di satu tangan saja. Wewenang pengambilan keputusan ini harus didesentralisasi dari atasan kepada bawahan. Dengan demikian mereka akan berinisiatif untuk memikul tanggung jawab dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
c. Pengendalian perusahaan yang lebih didasarkan pada tanggung jawab daripada wewenang telah menjadi ciri khas organisasi perusahaan dewasa ini. Organisasi perusahaan bergerak dari ‘authority based’ menjadi ‘responsibility based’. Kelompok-kelompok dalam perusahaan dibentuk berdasarkan speasialisasi dan keunggulan masing-masing sehingga dapat berpartisipasi secara optimal. Mereka ini tentu saja telah memiliki komitmen yang kuat terhadap tugas dan tujuan organisasi.

Akhirnya, dalam menghadapi dan mengatasi globalisasi dunia usaha dewasa ini, perusahaan-perusahaan berupaya sekuat tenaga untuk melakukan segala upaya yang berkaitan dengan reformasi, restrukturisasi, perampingan, peningkatan produktivitas, kreativitas, dan profesionalisme. Semuanya merupakan langkah reorientasi dan strategik perusahaan dalam mencapai tingkat efisiensi optimal dan daya saing bisnis perusahaan dalam rangka memberikan kepuasan pelanggan. Keberhasilan perusahaan dalam menghadapi globalisasi ini sangat tergantung pada tingkat efektifitas pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para pemimpin di dalam suatu perusahaan.

Berbagai pandangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa suatu perusahaan dapat bertahan dan berkembang menjadi perusahaan unggulan karena memiliki kelompok-kelompok dinamis. Kelompok-kelompok ini penuh kreativitas dan memiliki dedikasi tinggi. Keadaan ini akan menghasilkan suatu kondisi ‘intrapreneur’, di mana terdapat orang-orang yang penuh inisiatif dan memiliki komitmen tinggi dalam perusahaan. Pengembangan organisasi perusahaan modern menuntut keahlian yang spesialistis. Kerjasama akan dituntut untuk mendatangkan hasil yang maksimal dalam sebuah tim.

Untuk mencapai kondisi-kondisi ideal seperti ini, maka pimpinan perusahaan harus melakukan beberapa langkah sebagai berikut: (a) berperilaku sebagai wira usaha, bersaing secara sehat antara satu dengan yang lain dan melepaskan ketergantungan pada atasan; (b) membangun budaya perusahaan (corporate culture) yang kompetitif baik secara internal maupun eksternal; (c) mengembangkan budaya mandiri dengan menghindarkan ‘budaya minta petunjuk dari atasan’ (upward delegation), serta bersikap inovatif dan kreatif; (d) meningkatkan kinerja perusahaan dalam melakukan ekspansi dan mengembangkan efisiensi perusahaan; dan (e) memenuhi kebutuhan manajerial yang transparan dan akuntabel (managerial transparancy and accountability).

Dengan terciptanya suatu lingkungan dan iklim yang kondusif dalam perusahan, maka sumberdaya manusia yang adakan akan semakin meningkatkan inisiatif dan perilaku inovatif untuk memperbaharui diri (self-renewal), melakukan inovasi dan meningkatkan prestasi. Bawahan menjadi tidak cepat puas dengan apa yang telah mereka capai. Mereka juga tidak terkekang dan takut untuk berbuat sesuatu yang baru yang belum pernah dikerjakan sebelumnya.

Catatan:
Dimuat di majalah “Warta Atma Jaya” edisi Juli 2011

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

« Entri Sebelumnya

    Tentang

    “AKU DAN DUNIAKU” adalah sebuah weblog dari WordPress.com yang ditulis oleh LAURENS DASION. Sebagai penulis blog ini, saya ingin berbagi pengalaman dan pandangan dengan para pembaca tentang apa yang dilihat dan dirasakan dalam hidup ini. Selamat menikmati dan semoga bermanfaat…!!!

    RSS

    Subscribe Via RSS

    • Subscribe with Bloglines
    • Add your feed to Newsburst from CNET News.com
    • Subscribe in Google Reader
    • Add to My Yahoo!
    • Subscribe in NewsGator Online
    • The latest comments to all posts in RSS

    Meta

  • Mei 2024
    M S S R K J S
     1234
    567891011
    12131415161718
    19202122232425
    262728293031  
  • Arsip

  • Komentar Terbaru

    laurens dasion pada Hidup Ini Sungguh Indah
    Ana pada Hidup Ini Sungguh Indah
    laurens dasion pada Jalan Terbaik
    laurens dasion pada Jalan Terbaik
    Anisa pada Jalan Terbaik
  • Top Clicks

    • Tidak ada
  • Kategori

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...